Antara Kebenaran, Kegunaan, dan Kepercayaan
Antara Kebenaran, Kegunaan, dan Kepercayaan:
Menimbang Sains dan Dukun di Ruang Pengetahuan Nusantara
Antara Model dan Realitas
Sains pada dasarnya adalah bahasa matematika
yang digunakan untuk membangun model tentang dunia. Model ini efektif karena
mampu memberikan prediksi: jika A terjadi, kemungkinan B akan mengikuti.
Misalnya, jika tekanan udara turun, kemungkinan hujan meningkat. Namun, model
hanyalah representasi, bukan realitas itu sendiri. Ia bekerja sebagai lensa
yang memotret dunia dengan fokus dan distorsi tertentu.
Seperti disebut dalam percakapan itu, “model
bukanlah kenyataan.” Setiap model memiliki keterbatasan dan biasnya sendiri.
Ada lensa yang rabun dekat, ada yang silinder, dan ada yang buta warna. Model
fisika misalnya, mampu memprediksi gerak planet dengan akurasi tinggi. Namun,
lensa ini tidak bisa digunakan begitu saja untuk memprediksi perilaku manusia
atau dinamika sosial.
Di wilayah ilmu sosial, model jauh lebih rapuh.
Kompleksitas variabel manusia membuat prediksi menjadi sulit dan tidak setegas
hukum Newton. Ilmu sosial tidak bisa secara presisi memprediksi kapan kerusuhan
akan terjadi, kapan masyarakat marah, atau kapan hubungan interpersonal
berubah. Hukum sosial selalu dipengaruhi oleh faktor yang tidak selalu terukur.
Hal ini menunjukkan batasan inherent antara model sosial dan model alam.
Sang pembicara menegaskan, “Di sosial science,
nggak bisa bikin prediksi kayak fisika. Karena kompleksitasnya beda. Set
matematikanya juga beda.” Artinya, sains sosial tidak bisa diseragamkan dengan
sains alam. Keduanya berbicara dengan bahasa matematik yang berbeda. Bahkan
logika dan asumsi dasar di balik model sosial dan model alam pun berlainan.
Perbedaan ini menuntut pendekatan yang disesuaikan dengan konteks
masing-masing.
Dengan memahami batasan ini, kita bisa lebih
bijak memanfaatkan model ilmiah. Model fisika sangat berguna untuk memahami
fenomena alam, sementara model sosial memberikan wawasan tentang perilaku
manusia. Keduanya tidak bisa dipertukarkan secara langsung. Kesadaran akan
keterbatasan dan konteks ini penting agar kita tidak menafsirkan model sebagai
kebenaran absolut. Model hanyalah alat untuk memahami, bukan representasi final
dari realitas.
Kontributor
Akang Marta
.jpeg)