Hakikat Manusia sebagai Khalifah di Muka Bumi (Bagian 3)

Penulis : Frenky Mubarok 
(Dosen STAIS Dharma Indramayu)

Kontak antara suku yang satu dengan yang lainnya pada masa-masa berikutnya semakin banyak terjadi. Kebutuhan manusia pun semakin kompleks. Manusia mulai mengenal perhiasan dan benda-benda berharga yang memiliki kecenderungan untuk mengoleksi dan menguasai. Dari sinilah manusia mulai mengerti akan nilai-nilai estetika sebagai salah satu kebutuhan hidupnya. Sehingga pada ahirnya mereka memperlakukan alam tidak lagi sebagai bagian dari mereka, namun dianggap sebagai budak yang harus memenuhi segala kebutuhan manusia. Maka eksploitasi terhadap alam untuk memenuhi kebuthan dan produksi manusia pun menjadi tidak menghargai alam sebagai The Mother of Earth. Manusia tidak mengambil dari alam apa yang dibutuhkannya namun apa yang diinginkannya. Keinginan dan keserakahan manusia bagaikan tak terbendung lagi, ia bagaikan monster yang rakus yang tak pernah lelah untuk makan dan menghancurkan sesuatu apa yang ada di hadapannya. Hal inilah yang mendorong setiap suku pada ahirnya ingin menguasai suku yang lainnya demi mendapatkan apa yang tidak terdapat dalam wilayahnya. Konflik antar suku pun meluas di atas penjuru bumi. Sehingga pada ahirnya alam bukan saja menjadi pemuas nafsunya dalam memenuhi nilai-nilai estetika, namun menjadi senjata dan algojo bagi diri mereka sendiri. Mereka menjemput kematian mereka sendiri, dan mereka pun mulai menangis karenanya.

 


Namun, perlu diketahui pula bahwa tidak semua manusia memiliki kecenderungan yang bengis dan merusak. Pada hakikatnya manusia pun sadar betul bahwa segala konflik yang terjadi hanya akan merugikan mereka sendiri, maka kebutuhan untuk hidup berdampingan dengan damai ini kemudian menguatkan Myth of Harmony dalam peradaban manusia. Myth of Harmony ini tercermin dalam beberapa ajaran yang muncul diantaranya Zen (Abad 6 SM), Shinto (Abad 6 SM), Confucianism (Abad 5 SM), dan Zoroaster (Abad 6 SM).

Eksploitasi terhadap alam untuk memenuhi kebutuhan manusia yang bahkan juga mengeksploitasi manusia lainnya, menjadikan manusia teralienasi oleh kebutuhan-kebutuhannya sendiri. Manusia merasa bahwa kehidupan yang ia rasakan hanya mengekang dirinya. Mereka sangat sulit mencari kebahagiaan kenikmatan hidup. Kesulitan untuk mendapatkan kebahagiaan hidup berimbas pada anggapan bahwa setiap siklus yang terjadi pada manusia seperti lahir, hidup, kematian, adalah sebuah penderitaan atau The Chaos. Kebutuhan manusia untuk bebas dari belenggu kehidupan ini memunculkan Myth of Liberation (Mitos Kebebasan) yang tercermin dalam ajaran Hindu (Abad 15 SM), Budha (Abad 6 SM), Jain (Abad 6 SM) dan Sikh (Abad 16 M).

Pada sisi yang lain untuk membaskan diri dari belenggu kehidupan manusia mencoba menggali ajaran-ajaran dari orang-orang yang dianggap sebagai orang suci. Mereka percaya bahwa manusia-manusia suci (nabi, rasul atau messiah) telah mendapatkan petunjuk (baca: wahyu) dari Yang Maha Menguasai alam semesta. Ajaran-ajaran tersebut dijadikan sebagai pedoman bagi generasi-generasi setelahnya bahkan terus dijaga tradisi dan ritualnya pada masa sesudahnya. Ajaran ini muncul dengan bentuk kisah-kisah orang-orang suci atau para nabi sebagai utusan Tuhan untuk manusia. Dalam kisah-kisah orang suci tersebut mengandung pesan dan ajaran agar manusia dapat menemukan kembali kebahagiaannya, dengan metode-metode yang telah diajarkan oleh the saint (orang suci). Karena pencarian kebahagiaan manusia ditempuh dengan mengenal suri tauladan dan ajaran the saint, maka era ini disebut Myth of History (Mitos Sejarah) yang pada perkembangannya telah malahirkan Judaism (Abad 15 SM), Christianity (Awal Abad Masehi) dan Islam (Abad 6 M).



Pada perkembangan selanjutnya, manusia menganggap bahwa ajaran dari para nabi dan orang-orang suci tersebut adalah belenggu yang membuatnya menderita karena tidak menjadi diri sendiri. Doktrin-doktrin yang diajarkan oleh agama yang melembaga dan menjadi hukum bagi para penganutnya – dianggap - bukan malah membuat manusia terbebas dari penderitaan bahkan malah membuatnya semakin menderita. Manusia kemudian menentang doktrin- doktrin tentang keberadaan Yang Maha Kuasa sebagai sesuatu yang nyata. Ahirnya manusia pun berani membalik kedudukannya yang semula berpusat kepada Tuhan dan agama (teosentrisme) lalu menjadikan dirinya sebagai pusat dari segalanya (antroposentris). Manusia bukan lagi The son of Earth, ia tidak lagi merindukan harmoni, ia merasa bahwa kebebasan hanya bisa didapatkan dengan cara menaklukan alam semesta. Manusia terasing dalam kesendiriannya. Ia tak lagi mendengar bisikan alam atau pun mengambil pelajaran dari orang-orang suci pendahulunya. Ia bagaikan seokor kuda yang berlari dengan ditutup kedua belah matanya. Menerjang segala yang merintanginya. Alih-alih bekerjasama menemukan kembali jalan kebenaran, manusia bahkan terus saling berperang dan saling menjatuhkan. Sampai ahirnya ia terluka. Sendirian. Ia lelah. Lalu ia pun tersunggkur mencium bumi. Bumi pun tersenyum. Kini anaknya telah kembali dipangkuannya. Sebuah kerinduan yang sangat telah terobati. Anaknya yang durhaka kini telah kembali. Namun Yang Maha Kuasa tetap akan memberika perhitungan atas apa yang telah dilakukan manusia sang putra bumi. Sungguh Tuhan akan berlaku tegas pada hambanya yang durhaka kepada ibundanya. (Selesai)

Baca bagian 1 DISINI

Baca bagian 2 DISINI


Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel