PENDIDIKAN DAN IMAN (Bagian 1)

Penulis : Frenky Mubarok, Dosen STAIS Dharma Indramayu

(Tuhan) yang Maha pemurah,Yang Telah mengajarkan Al-Quran. Dia menciptakan manusia (al-insãn).Mengajarnya retorika (al-bayãn).

(QS. Al-Rahmân ayat 1 - 4)

Setiap pagi, jalanan dipenuhi dengan anak-anak dan remaja berseragam yang hendak berangkat ke sekolah. Para orang tua yang peduli terhadap pendidikan putra-putrinya dengan ikhlas memenuhi kebutuhan sekolah anak-anaknya, dengan harapan suatu saat nanti setelah mereka menyelesaikan pendidikannya, mereka dapat menjadi manusia-manusia yang berguna dan dapat membanggakan serta membahagiakan orang tuanya. Bagi orang tua, anak-anak tidak hanya sekedar buah cintanya, tetapi juga aset masa depannya.

Berdasarkan ilurstarsi tersebut, maka pendidikan dan manusia tidaklah dapat dipisahkan. Hal ini dikarenakan, sejatinya proses hidup manusia adalah sebuah proses pendidikan. Pendidikan diperlukan sebagai upaya regenerasi yang akan melanggengkan peradaban manusia. Di sisi yang lain, upaya regenerasi merupakan suatu kesadaran manusia bahwa ia tidak dapat hidup kekal abadi selamanya. Karenya wajar jika Nabi Muhammad saw memerintahkan kepada ummatnya untuk menuntut ilmu sejak dalam buayan ibu hingga ke liang lahat.

Dalam al-Qur’an terdapat suatu istilah untuk menyebutkan manusia. Istilah tersebut adalah al-insân. Secara bahasa al-insān terbentuk dari akar kata nasiya (yang berarti lupa). Potensi untuk lupa inilah yang meniscayakan kebutuhan manusia akan pendidikan. Manusia yang telah hilang gairah untuk mengembangkan dirinya melalui pendidikan baik melalui pendidikan formal maupun non-formal, maka ia lambat laun akan kehilangan berbagai potensi kemanusiaannya. Layaknya cermin, akal pikiran manusia harus senantiasa dibersihkan melalu pendidikan, karena jika tidak dilakukan maka jelaga kebodohan akan menutupi cahaya yang memancar dari jiwa kemanusiaanya.

Kata al-insân juga sering dipakai untuk menunjukan bahwa manusia memiliki potensi psikologis dalam dirinya. Salah satu potensi yang dimiliki manusia dalam konteks al-insãn adalah sebagai mahluk hidup manusia memiliki potensi untuk bertumbuh dan berkembang secara fisik dan pada ahirnya akan mati. Allah swt berfirman:

Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan (khlaqnâ) manusia (al-insân) dari suatu saripati (berasal) dari tanah (tīn); Kemudian kami jadikan (ja’alnâ) saripati itu air mani (nuthfah) - yang disimpan - dalam tempat yang kokoh-rahim. Kemudian air mani itu kami jadikan (khalaqnâ) segumpal darah (‘alaqah), lalu segumpal darah itu kami jadikan (khalaqnâ) segumpal daging (mudhghah), dan segumpal daging itu kami jadikan (khalaqnâ) tulang belulang (‘idzãm), lalu tulang belulang itu kami bungkus dengan daging (laḥma). Kemudian kami jadikan (ansya’nâ) dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Suci Allah, Pencipta yang paling baik (aḥsan al-khâliqîn). Kemudian, sesudah itu, Sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan mati. (QS. Al-Mu’minûn [23]:12-15)

Dalam ayat tersebut Allah swt menggunakan kata khalaqnâ yang mengandung dhamir (kata ganti) orang pertama jamak (nahnu), hal ini mengindikasikan bahwa penciptaan manusia (al-insān) oleh Allah swt dilakukan dengan sebuah proses. Penggunaan kata khalaqa pun mengindikasikan sebuah ketetapan dalam proses penciptaan. Hal ini berbeda ketika dalam ayat selanjutnya, diksi yang dipakai adalah ja’ala mengindikasikan bahwa nuthfah: air mani akan berfungsi atau mendapatkan potensi untuk berkembang jika berada dalam qarârin makīn; tempat yang kokoh (rahim). Kemudian pada ayat selanjutnya yaitu ayat ke 14 semua diksi menggunakan kata khalaqa. Hal ini mengindikasikan bahwa ketika air mani sudah berada di dalam rahim, maka proses pembentukan fetus atau janin pasti akan terjadi.

Lantas kenapa siklus perkembangan atau penciptaan manusia ini menggunakan diksi al-insān yang seperti yang telah disebutkan sebelumnya berkaitan dengan psikis manusia?. Hal ini tentu saja menunjukan bahwa sejak dari dalam kandungan manusia sudah memiliki potensi untuk belajar dan merasa, maka pantaslah jika seorang bayi yang sejak lahir terbiasa mendengarkan hal-hal yang baik terutama lantunan ayat suci Al-Qur`an, maka kelak dalam pertumbuhannya akan mudah untuk belajar. Begitupun ketika orang tua si bayi terutama sang ibu sedang merasakan kebahagiaan atau pun sebaliknya, maka sang bayi yang ada dalam kandungan akan bereaksi dan ikut pula merasakan apa yang dirasakan orang tuanya. Maka pantaslah jikalau bagi pasangan suami istri yang memiliki niat yang mulia untuk memiliki anak, sebaiknya ditanamkan kebiasaan sejak dini untuk selalu bersikap dan bertindak secara Islami, serta memperbanyak dzikir dan membaca Al-Qur`an.

Selanjutnya, proses pendidikan yang dilakukan oleh manusia, dikarenakan manusia memiliki potensi untuk dapat menjelaskan tentang fenomena yang terjadi disekitarnya, seperti yang terdapat dalam QS. Al-Raḥmân[55]: 1-4: “(Tuhan) yang Maha pemurah,Yang Telah mengajarkan Al-Quran. Dia menciptakan manusia.Mengajarnya retorika.”

(Bersambung ke bagian 2)

Baca bagian 2 DISINI

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel