SISI KEPOLOSAN MANUSIA

"Tidak Aku ciptakan jin dan manusia (al-Ins) melainkan hanya untuk menghamba" (QS. Adz Dzariyat: 56).

Pernahkah kita berfikir tentang diri kita sendiri bahwa sering kali kita disibukan memikirkan atau melakukan sesuatu yang sering kali sepele dan bahkan tak memiliki manfaat apa pun bagi diri kita. 

Kecerobohan, atau pun arogansi kita sebagai manusia dalam hal-hal sepele tersebut pada hakikatnya adalah sisi keluguan bahkan cenderung mendekati sikap naif yang dimiliki manusia.

 
Berkaitan dengan hal tersebut, dalam al-Qur’an terdapat istilah al-ins ketika menceritakan tentang manusia. 
Al-ins memiliki susun huruf yaitu alif, nun dan sin yang sama dengan kata anisa – ansan yang berarti jinak. 

Dengan demikian manusia al-ins adalah mahluk yang jinak lagi lugu. 
Hati dan pikiran manusia sangat mudah dipengaruhi oleh hal-hal yang datang dari luar diri dan pemikirannya. 

Inilah kenapa perempuan dalam bahasa Arab disebut dengan kata annisa, yang memiliki pengertian bahwa perempuan adalah mahluk yang sangat lembut, dan perasa melebihi laki-laki dan karena itu hanya perempuanlah yang layak di beri tanggung jawab untuk memiliki rahim dalam tubuhnya sebagai keistimewaan baginya.


Keluguan, kelembutan, dan sifat manusia yang perasa (sentimentil) inilah yang sering kali menjadi kelemahan manusia yang mudah terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran dari luar dirinya. 
Semua sifat yang melekat pada manusia tersebut menjadikan ia mudah disesatkan oleh jin dan pada ahirnya ikut terjerumus ke neraka. 

Coba perhatikan ayat berikut ini:

“Dan (ingatlah) hari di waktu Allah menghimpunkan mereka semuanya (dan Allah berfirman): "Hai golongan jin, sesungguhnya kamu telah banyak menyesatkan manusia (al-Ins)", lalu berkatalah kawan-kawan meraka dari golongan manusia (al-Ins): "Ya Tuhan kami, sesungguhnya sebahagian daripada kami telah dapat kesenangan dari sebahagian (yang lain) dan kami telah sampai kepada waktu yang telah Engkau tentukan bagi kami." Allah berfirman: “Neraka itulah tempat diam kamu, sedang kamu kekal di dalamnya, kecuali apa-apa Allah kehendaki.” Sesungguhnya Tuhanmu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” ( Q.S. Al-An’am [6]: 128)

Kata al-Ins sering kali disandingkan dengan Al-Jin, lalu keduanya dihubungkan dengan sebuah penghambaan kepada Allah (‘Abd). 

Allah swt berfirman:

 “Tidak Aku ciptakan jin dan manusia(al-Ins) melainkan hanya untuk menghamba.” (QS. Adz Dzariyat: 56).

Seperti yang telah diuraikan dalam Q.S. Al-An’am [6]: 128 tersebut, Jin diidentikan sebagai sesuatu yang menggoda manusia agar melupakan penghambaanya kepada Allah SWT. 

Jin adalah sesuatu atau mahluk yang tersembunyi dari indra manusia, namun kehadirannya tetap dapat dirasakan oleh manusia. 

Kata Jin selain dapat dipahami sebagai salah satu mahluk dari Allah swt yang diciptakan dari api (Q.S. Al-Hijr [15]: 27), dapat juga dipahami sebagai suatu pemikiran dari luar fitrah manusia sebagai hamba Allah yang sering kali terdengar sangat indah, namun menyimpan banyak misteri, misalnya banyak sekali orang yang menginginkan harta benda yang melimpah, dengan anggapan bahwa dengan harta benda yang melimpah seperti yang dimiliki oleh orang lain maka ia merasakan kebahagiaan yang melebihi apa yang ia rasakan sebelumnya. 

Ia terlalu fokus melihat apa yang dimiliki oleh orang lain, sehingga ia tidak peduli dengan apa yang telah dimilikinya, sehingga apa yang dimilikinya pun ahirnya meninggalkan meninggalnya pula. 

Pada ahirnya perilaku semacam itu hanya membuat manusia merasakan kekosongan dari rahmat atau kasih sayang Allah, ia merasa hidupnya tiada lagi berguna dan putus asa.


Ada sebuah kisah menarik yang diceritakan Murtadha Muthahhari dalam bukunya yang berjudul Manusia Seutuhnya
Dalam buku tersebut diceritakan tentang orang yang menyimpan perasaan iri dan dengki terhadap tetangganya. 

Ia sebenarnya adalah orang yang memliki kekayaan yang cukup untuk ia nikmati dan syukuri, namun karena rasa iri dan dengkinya kepada tetangga yang menurutnya selalu mengalahkan dirinya dalam mengumpulkan harta, ketenaran dan kebahagiaan, maka ia melakukan tidakan yang bodoh lagi tercela. 

Pada suatu hari ia membeli seorang budak. Kemudian budak itu diperlakukannya secara istimewa dengan diberi pakaian bagus dan makanan yang enak. 
Perlakuannya ini menimbulkan kesetiaan yang lebih dari budaknya tersebut. 

Suatu hari ia berkata kepada budaknya bahwa ia akan membebaskannya dan bahkan memberikan seluruh harta yang dimilikinya dengan satu syarat. 

Sang budak pun merasa senang bercampur heran, maka ia pun menanyakan syarat apa yang dimaksud oleh majikannya. 

Sang majikan tidak memberikan syarat yang dimaksud namun ia meminta budaknya itu untuk menemuinya di atap rumah tetangganya pada suatu malam. 

Hari yang ditentukan pun tiba. Sang budak menemui tuannya di atap rumah tetangga tuanya. 

Sang majikan lalu memberikan sebilah pisau dan menyuruh budaknya untuk membunuhnya, maka sang budak pun terperanjat dengan apa yang dikatakan oleh majikannya. 

Sang budak berkata dengan heran : 
“Sungguh saya tidak akan membunuh tuan kecuali tuan menceritakan apa alasanya ...” 

Sang majikan diam sejenak seraya berkata :
 "Selama saya bertetangga dengan pemilik rumah ini, hati saya selalu diliputi rasa iri karena ia selalu memiliki apa yang tidak saya miliki, saya merasa kalah, dan saya menderita karenanya, saya tidak sanggup lagi menanggungnya, berbagai macam cara saya lakukan untuk menjatuhkannya, namun selalu gagal, ahirnya saya menyimpan dendam yang sangat membara kepada tetangga saya ini, saya ingin agar ia merasakan penderitaan yang saya rasakan, dengan terbunuhnya saya di atas lotengnya maka hakim akan menuduhnya sebagai pembunuh dan akan menghukumnya ...” 

lalu sang budak pun berkata : 
“Sesungguhnya penderitaan yang kamu rasakan adalah ulahmu sendiri, jika itu yang menjadi alasannya, maka aku tidak akan ragu lagi membunuhmu, karena sesungguhnya engkau adalah orang yang bodoh lagi menghinakan diri sendiri.” 

Kata-kata terahir dari sang budak disambut dengan ayunan pisau yang mengoyak perut majikannya. 

Dengan terbunuhnya sang pendengki tersebut, benar saja hal itu mengakibatkan tetangganya ditangkap dan dibawa ke hadapan hakim. Namun, ketika mendengar hal itu, sang budak yang telah membunuh majikannya tersebut merasa tersentuh hatinya, ia lalu menghadap sang hakim dan besaksi bahwa ialah yang telah membunuh majikannya atas permintaan majikannya sendiri dengan alasan yang telah diceritakan. 

Setelah mendengar kesaksian dari sang budak, hakim pun membebaskan keduanya dari fitnah yang dilakukan oleh sang pendengki.


Penulis: Frenky Mubarok (Dosen STAIS Dharma Indramayu)


Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel