PENDIDIKAN DAN IMAN (Bagian 2)

Penulis : Frenky Mubarok, Dosen STAIS Dharma Indramayu

Dalam ayat-ayat tersebut mengandung pengertian bahwa manusia telah diberikan potensi oleh Allah swt untuk dapat memahami Al-Qur`an. Al-Qur`an di dalam Surat Al-Raḥmân ayat 2 memiliki pengertian khusus sebagai kitab/wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw atau pun dalam pengertian umum yaitu segala fenomena yang ada di alam semesta. Alat yang digunakan untuk memahami Al-Qur`an tersebut adalah Al-Bayãn (retorika), yaitu ilmu yang dapat dipergunakan oleh manusia untuk dapat mengali ilmu pengetahuan yang ada di alam semesta. Di dalam Al-Bayãn, meliputi juga kemampuan berbahasa dan berfikir yang dapat digunakan oleh manusia agar dapat menerima rahmat Allah swt.


Berdasarkan uraian tersebut maka manusia memiliki potensi yang sangat besar untuk menguasai ilmu pengetahuan melalui proses pendidikan. Allah swt berfirman: Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah(‘alaq).Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam,Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahui.(QS. Al-‘Alaq [96] : 1-5)

Seperti halnya Q.S. Al-Mu’minûn ayat 14, di dalam Q.S. Al-‘Alaq ayat 2 pun kata ‘alaq (segumpal darah), juga disebutkan dalam proses penciptaan manusia. Q.S. Al-‘Alaq ayat 1-5 secara umum menjelaskan betapa pentingnya proses pendidikan, dan kaitannya dengan penciptaan manusia. Hal ini pula mengindikasikan bahwa unsur bawaan atau unsur genetika dalam pendidikan juga sangat mempengaruhi daya tangkap seorang murid dalam proses belajarnya. Maka pantaslah jika Islam sangat selektif sekali dalam mengatur umatnya untuk mengkonsumsi makanan, hal ini dikarenakan apa yang dikonsumsi oleh sesorang akan mempengaruhi sel-sel genetika dalam tubuhnya yang pada ahirnya akan diwariskan kepada anak keturunannya.

Namun kecerdasan bawaan yang dimiliki manusia karena turunan dari orang tuanya bukanlah faktor penentu berhasilnya proses belajar manusia. Karena pada ayat selanjutnya Q.S. Al-‘Alaqayat 3-5 Allah swt memerintahkan kepada manusia untuk melakukan upaya pembelajaran agar manusia dapat meningkatkan pengetahuannya. Dengan kata lain, manusia yang memiliki bakat kecerdasan yang tinggi namun bermalas-malasan dalam prosesnya akan dikalahkan oleh mereka yang senantiasa belajar dan menambah ilmu pengetahuannya.

Adapun pendidikan yang baik dan harus ditempuh serta dimiliki oleh manusia adalah pendidikan yang diarahkan untuk menekan potensi-potensi negatif yang ada di dalam diri manusia. Beberapa potensi negatif yang dimiliki oleh manusia antara lain:

Pertama.Potensi untuk berperilaku zalim dan mengingkari nikmat. Perhatikan ayat berikut ini:“Dan dia Telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepadanya, dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah)” (QS. Ibrahim [14]:34).

Allah swt telah memberikan manusia rizki yang bersumber dari alam berupa hasil bumi yang tumbuh karena hujan yang Allah swt turunkan. Allah swt juga memberikan ilmu navigasi dan pelayaran kepada manusia agar dapat mengarungi lautan yang luas, agar dari lautan itu manusia dapat mencari rizki baik memanfaatkan apa yang terkandung di dalam laut, atau pun untuk mencari rizki Allah yang berada di daratan di seberang samudera, dan Allah swt. juga telah memberi pengetahuan kepada manusia bagaimana memanfaatkan sungai-sungai yang ada di bumi, baik untuk keperluan irigasi pertanian, transportasi atau pun untuk dikonsumsi airnya yang segar lagi menyejukan (Q.S. Ibrahim ayat 32). Tidak hanya itu, Allah telah memberikan pengetahuan kepada manusia tentang ilmu perbintangan agar manusia dapat menghitung waktu, arah mata angin dan perubahan cuaca agar manusia dapat dengan leluasa berjalan dan hidup di bumi-Nya. Allah pula lah yang memberikan pengetahuan kepada mansuia sehingga dapat hidup dengan nyaman baik di dalam waktu malam maupun waktu siang berupa pengetahuan tentang pemanfaatan energi karbon, listrik atau pun nuklir yang dirubah menjadi alat-alat canggih yang dapat memudahkan pekerjaan manusia (Q.S. Ibrahim ayat 33). Kesemua nikmat Allah swt teresebut apabila manusia menghitungnya maka pasti ia tak akan sanggup menghitungnya. Karenanya Allah swt memperingatkan kepada manusia agar tidak terlena dan terjatuh dalam lembah kekufuran.

Kedua. Potensi tidak mahu berterimakasih dan putus asa. Allah swt berfirman:Dan jika kami rasakan kepada manusia (al-insân) suatu rahmat dari kami, Kemudian rahmat itu kami cabut daripadanya, Pastilah dia menjadi putus asa lagi tidak berterima kasih. (QS. Hud [11]:9).

Rahmat dalam bahasa Indonesia dapat dipahami sebagai kasih sayang yang diberikan Allah swt. kepada hambanya. Berbeda dengan mahluk-Nya yang lain manusia memiliki rahmat –Allah yang spesial yakni akal (al-‘aql) yang dengannya manusia dapat membedakan mana yang baik dan buruk. Karenanya jika manusia enggan untuk menggunakan akalnya dan terdorong oleh al-nafs al-syahwâniyyah yakni sisi hewani yang dimiliki manusia, maka ia tak ubahnya bagaikan binatang.

Alangkah banyak di masyarakat kita yang enggan menggunakan akalnya untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Enggan mensyukuri segala nikmat yang diberikan Allah swt. dengan beribadah pada-Nya. Jika demikian yang terjadi, maka mereka tidak akan menemukan kebahagiaan sejatinya seberapa keras pun mereka berusaha. Hal ini karena mempersepsikan kebahagiaan dengan cara yang salah, bukan dengan akal sucinya melaikan dengan hawa nafsunya.

Tiga. Potensi untuk selalu berkeluh kesah lagi kikir. Allah swt berfirman: “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat halu’. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, Dan apabila ia 

mendapat kebaikan ia amat kikir” (Q.S. Al-Ma’arij [70] :19 s.d 21).

Lafadz halū’â adalah perpaduan antara sifat jazū’â (berkeluh kesah) dan manū’â (kikir) namun dengan catatan harus didahului lafadz idzâ (apabila) sebelum kedua kata tersebut. Namun menurut pendapat sebagian mufasir lainnya, keduanya (jazū’â dan manū’â) adalah khabar (kata penjelas) bagi kata kâna (kata awalan yang biasa digukanan untuk menerangkan suatu kondisi psikologis, dalam penerjemahan harfiah biasa diterjemahkan dengan kata “terbukti”) yang disisipkan. Muhammad Ibnu Tahir menanyakan kepada Sa’lab tentang al-hâla’a (bentuk tunggal dari al- halū’â). Sa’lab menjawab bahwa kata itu telah ditafsirkan Allah (dalam ayat selanjutnya) dan tidak ada penafsiran yang lebih jelas selain penafsiran Allah (Tafsir Al-Qur’an bi Al-Qur’an).

Keburukan sifat al-hâla’a juga disinggung dalam sabda Nabi Muhammad saw: “Seburuk-buruk sifat yang diberikan pada seorang hamba adalah sifat kikir yang gelisah (hâla’a) dan sifat penakut yang sangat.“

Sifat halū’â, jazû’â, dan manû’â adalah potensi negatif yang ada pada diri manusia sebagaial-insân. Potensi negatif ini muncul karena manusia tidak dapat memanfaatkan fithrah yang diberikan oleh Allah swt. Dikarenakan hal tersebut maka pantaslah bahwa Rasulullah saw sangat menekankan kepada ummatnya untuk senantiasa mencintai ilmu dan bersungguh-sungguh dalam menempuh proses pendidikan. Karena hanya dengan pendidikanlah manusia dapat memaksimalkan potensi positifnya untuk kemudian mengendalikan potensi negatif yang selalu menghantuinya. (Selesai)

Baca bagian 1 DISINI

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel