Menggapai Fitrah Diri di dalam Kehidupan Dunia


"Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah, …"

(H.R. Muslim)

Kita memahami bahwasanya di dalam Islam, pendidikan adalah proses untuk memanusiakan manusia. Menjadikan manusia mengoptimalkan segala potensi yang ada di dalam dirinya. Proses ini juga merupakan upaya manusia agar dapat menemukan fitrah sejatinya.

Berkenaan dengan fitrah manusia yang terlahir ke dunia, Nabi Muhammad saw bersabda:
“Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah lalu kedua orang tuanyalah yang menjadikannya sebagai seorang Yahudi, Nasrani dan Majusi. Apabila kedua orang tuanya muslim, maka anaknya pun akan menjadi muslim … .” 
(H.R. Muslim)

Secara bahasa, kata fithrah ini diambil dari kata fathara yang berarti menciptakan. Hal ini seperti dalam pernyataan Nabi Ibrahim as .yang terdokumentasi di dalam Al-Qur`an, setelah beliau menemukan titik ahir dalam pencarian Tuhannya.

“Sesungguhnya Aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan (fathara) langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar (ḥanif), dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan” (Q.S. Al-An’am [6]: 79)

Juga dalam perkataan Nabi Huud as. kepada kaumnya untuk mengajak mereka beriman kepada Allah swt.

"Hai kaumku, Aku tidak meminta upah kepadamu bagi seruanku ini. upahku (ajran) tidak lain hanyalah dari Allah yang Telah menciptakanku (fatharanī). Maka tidakkah kamu memikirkan(nya)?" (Q.S. Huud [11]: 51).

Dalam ayat-ayat yang lain Allah swt. berfirman:

"Mengapa aku tidak menyembah (Tuhan) yang Telah menciptakanku (fatharanī) dan yang hanya kepada-Nya-lah kamu (semua) akan dikembalikan?” (Q.S. Yaasin [36]: 22)

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; Fitrah Allah (fithra Allâh) yang Telah menciptakan manusia (fathara al-nâs) menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah (khalq Allâh). Itulah agama yang lurus (al-dīn al-qayyīm); tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (Q.S. Ar-Ruum[30]: 30).

“Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: "Sesungguhnya Aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu sembah. Tetapi (aku menyembah) Tuhan yang menjadikanku (fatharanī); Karena Sesungguhnya dia akan memberi hidayah kepadaku" (Q.S. Az-Zukhruf [43]: 26-27).

Dari ayat-ayat yang telah disebutkan terdapat sebuah kesamaan bahwa pemakaian kata kata fithrah dan fathara dalam setiap perubahan tashrif nya baik di dalam Al-Qur`an ataupun hadits selalu dikaitkan dengan keimanan manusia kepada Allah swt atau dalam hal keagamaan atau teologis. 

Misalnya dalam penciptaan bumi dan langit pada Q.S. Al-An’am [6]: 79 (fathara al-samâwât wa al-ardh) yang dikaikan dengan pernyataan keimanan Nabi Ibrahim as. kepada Allah swt maka Al-Qur`an menggunakan redaksi fathara. 

Hal tersebut berbeda ketika penciptaan dibicarakan dalam konteks yang tidak dikaitkan dengan keimanan manusia kepada Allah swt namun dalam konteks pernyataan tentang fenomena alam, maka redaksi yang digunakan adalah khalaqa. Allah swt berfirman:

“Dan tidaklah Tuhan yang menciptakan (khalaqa) langit dan bumi itu berkuasa menciptakan yang serupa dengan itu? benar, dia berkuasa. dan dialah Maha Pencipta lagi Maha Mengetahui” (Q.S. Yaasin [36]: 81).

Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa fitrah yang dimaksudkan dalam hadits Rasulullah saw adalah potensi keagamaan yang telah ditanamkan dalam diri manusia. 

Fithrah ini adalah Tauhid atau mengesakan Allah swt namun dikarenakan pengaruh pendidikan yang salah maka terdapat kemungkinan bahwa fithrah tersebut akan tertutup oleh hawa nafsu sehingga manusia lupa hakikat dari penciptaanya di dunia ini.

Menurut Murtadha Muthari keburukan itu tidak memiliki eksistensi. Keburukan adalah kebaikan yang berkurang. Kebaikan bersifat hakiki adapun kekurangan kebaikan itulah disebut keburukan. Ibaratnya seperti ruangan yang terang karena cahaya ketika cahaya berkurang maka bukan berarti kegelapan yang ditimbulkannya memiliki eksistensi, karena kegelapan bukanlah kegelapan an sich, tapi kegelapan adalah berkurangnya gradasi cahaya.

Berdasarkan hal tersebut maka sifat dzalim yang memiliki akar kata dzulma – yang berarti kegelapan - adalah sifat yang menunjukan bahwa berkurangnya kebaikan pada diri seseorang. 
Begitupun dengan istilah kafir berasal dari kata kafara yang berarti “menutupi” memiliki pengertian bahwa kekafiran yang dilakukan oleh manusia terhadap ajaran Tauhid adalah dikarenakan fithrah-nya telah tertutupi oleh hawa nafsunya sehingga orang yang kafir tidak lagi dapat membedakan mana yang baik dan mana yang benar.

Berdasarkan pada uraian tersebut maka dasar dari segala sesuatu berjalan seiring dengan kebenaran, kebajikan, kesempurnaan, dan keindahan. Sedangkan seluruh kebatilan, kejahatan, ketidaksempurnaan, serta keburukan berujung pada ketiadaan (‘adam), bukan pada keberadaan (wujud). 
Pada satu sisi, keburukan (al-syarr) pada dasarnya bukanlah keburukan, melainkan kurangnya kebaikan pada sesuatu. Dikarenakan hal tersebut, maka keterkaitan antara kebaikan dan keburukan tidaklah bersifat esensial, melainkan hanya nisbi belaka.

Karena keburukan, kezaliman atau kenegatifan itu tidak memiliki eksistensi namun hanyalah sebuah dampak dari tidak tercukupinya kebaikan dikarenakan sifat lalai manusia, maka manusia selalau dianjurkan oleh Allah swt untuk kembali kepada-Nya. Hal inilah yang disebut dengan taubah. 
Secara harfiah taubat beasal dari kata tâba yatûbu yang berati “kembali.” Kembali dalam hal ini adalah kembali kepada fithrah manusia yaitu mengesakan Allah (tauḥid Allãh). Orang yang tidak mau bertaubat maka ia akan hidup dalam kegelapan atau kedzaliman. 

Allah berfirman: 
“Orang yang tidak bertaubat maka mereka itulah orang-orang yang dzalim” (Q.S.Al-Hujarat [49]: 11).

Konsep taubat sebagai kembalinya kesadaran manusia kepada Sang Penciptanya mengindikasikan bahwa manusia tidak pernah kehilangan tempat untuk kembali, bersandar dan mendapatkan kebahagiaan sejatinya. Maka berputus asa, bahkan hingga melakukan upaya bunuh diri merupakan tindakan yang tercela karena mengingkari segala nikmat dan kasih sayang Allah, dan Allah pun mengutuk orang yang berputus asa.

Manusia dalam ayat Al-Qur’an yang lain digambarkan sebagai mahluk yang selalu menderita. Namun tidak seperti ajaran Budhis yang menyatakan bahwa dukha atau penderitaan adalah sebuah hakikat kehidupan. 

Di dalam Islam hakikat manusia adalah suci dan penuh dengan kebahagiaan, sedangkan penderitaan yang dirasakan oleh manusia dari generasi ke generasi adalah dikarenakan manusia tidak kembali kepada fithrah-nya.

Karena itu kerugian-kerugian dam segla macam penderitaan yang dialami oleh manusia akan hilang seiring kembalinya manusia kepada fithrah-nya yaitu beriman kepada Allah swt dan berjalan menuju kesempurnaan. 

Allah swt berfirman: 
“Demi masa sesungguhnya manusia berada dalam kerugian, kecuali orang yang beriman, mengerjakan amalan yang shalih, dan saling mengajak kepada Al-Haq (Yang Maha Benar, Yang Maha Nyata) dan mengajak Al-Shabr (Yang Maha Menangguhkan)” (Q.S. Al-‘Ashr[103]: 1-3).

Mengutip pendapat Bint Al-Syati’, bahwasanya sumpah dalam Al-Qur`an yang menggunakan huruf wawu adalah merupakan alat retorika dalam bahasa Al-Qur`an. 

Sumpah tersebut bukanlah untuk mengagungkan mahluk-Nya, karena Tuhan Yang Maha Besar dan Kuasa tidak perlu mengagungkan mahluk-Nya. Retorika dalam sumpah tersebut adalah untuk menarik gejala lain yang serupa, yang abstrak dan bersifat ruhaniyah. 
Sumpah demi masa (wa al-‘ashr) dimaksudkan agar manusia memperhatikan ayat ini dengan seksama dan memikirkan apa sebenarnya hakikat waktu tersebut.

Dalam surat Al-‘Ashr tersebut dijelaskan bahwa manusia senantiasa dalam kerugian. Kerugian yang dimaksud tentu saja bukan kerugian dalam hal materi, seperti ruginya orang yang berdagang. 

Kerugian manusia yang paling besar adalah kerugian dalam bidang spiritual. Kerugian spiritual ini mengakibatkan manusia selalu dirundung derita. Hidupnya bagaikan dikerangkeng. Teralienasi dari hiruk pikuk dunia. Ia tidak merasakan kebahagiaan dan menikmati hidup. Bahkan dalam tingkat yang lebih fatal, manusia mempercayai bahwa kehidupan ini adalah sesuatu yang hina. 

Sebagian orang mengatakan bahwa hidup di dunia adalah sebuah kehinaan, dikarenakan jiwa manusia yang suci terperangkap oleh jasad yang kotor, manusia harus segera melepaskan diri dari jasadnya jika ia ingin mendapatkan kembali kesucian jiwanya. Sebagain lain mengatakan bahwa manusia berada dalam penderitaan karena ia sedang dalam hukuman Tuhan dikarenakan kesalahan nenek moyangnya.

Namun kerugian-kerugian tersebut akan dapat ditebus di antaranya adalah dengan sebuah keimanan. Iman adalah percaya, orang yang beriman (mu’min) adalah orang yang percaya. Lantas apa yang harus dipercayai? Jika itu kepercayaan itu adalah percaya kepada Tuhan, lantas Tuhan yang bagaimanakah yang harus dipercayai?, atau mungkin pertanyaanya adalah Tuhan versi siapakah yang layak untuk dipercyai?.

Dalam bahasa Arab, kata yang bermakna Tuhan adalah Allâh, Allah spesifikasi dari kata ilah yang berarti tuhan namun dalam bentuk umum, dengan demikian dalam bahasa Indonesia, Allãh bisa diartikan sebagai “Tuhan” (dengan huruf T kapital) dan ilah diartikan sebagai “ tuhan “ (dengan huruf t kecil). 

Jika kita analisa lebih lanjut maka kata ilah susunanya sama dengan kata ilâ yang berarti “ke” atau “menuju” dan kata hu yang merupakan dhlomir muttasil (kata ganti yang menyambung) yang berarti “dia”, maka jika disambung menjadi ila hu – ilah. 

Dengan demikian maka kata ilah adalah sesuatu yang dituju, dan kata Allâh adalah sesuatu yang benar-benar ingin dituju oleh manusia untuk mencapai kesempurnaan diri manusia itu sendiri.

Beriman kepada Allah swt berarti kembali dan mengaktifkan kembali fithrah manusia. Dikarenakan manusia adalah khalifah Allâh (wakil Allah) atau dalam bahasa yang lain tajallī Allah, maka fithrat al-nâs adalah juga merupakan fithrah yang bersumber dari Allah.

Lantas apakah kita dapat menemukan kembali sisi-sisi kemanusiaan kita yang sejati di dalam rimba belantara kehidupan modern ini. 
Hal tersebut tergantung bagaimana kita sebagai manusia mengolah mindset kita, apakah akan menjadi orang yang aktif menggapai nikmat dari Allah, atau malah menjadi orang yang pasif, menyerah dan merana meratapi kehidupannya.

Penulis : Frenky Mubarok, Dosen STAIS Dharma Indramayu

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel