KH. AMIN MUBAROK (Bagian 1)

K.H. Amin Mubarok lahir pada tanggal 11 Maret 1942 dari pasangan bapak Rasbin (berasal dari daerah Ulujami, Pemalang, Jawa Tengah) dengan Ibu Dasiyah (berasal dari Kertasemaya Indramayu Jawa Barat). 

Anak terakhir dari 7 bersaudara ini lahir di Desa Tulungagung, Kecamatan Kertasemaya, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. 



Beliau adalah bagian dari silsilah pendiri Pondok Pesantren Sirojut Tholibin dari pihak ibu. 

Silsilah beliau dari pihak ibu, sumber datanya diperoleh dari orang-orang yang masih hidup sekarang di wilayah Tulungagung, seperti KH. Hasanudin Ghofur, ibu Habibah, De Aroh (Ibu Rohanah), dan masih banyak lagi sumber lain yang semuanya membenarkan data tentang silsilah tersebut.

Masa Belajar

Seperti kebanyakan anak-anak seusianya, Kyai Amin kecil masuk Sekolah Rakyat (SR), setingkat dengan Sekolah Dasar (SD), di Desa Kertasemaya yang lokasinya sekarang menjadi Sekolah Dasar Negeri Kertasemaya I. 

Setelah menyelesaikan Sekolah Rakyat (SR), Amin muda melanjutkan belajar ke Pondok Pesantren Kempek Ciwaringin Cirebon di bawah asuhan Romo KH. Umar Sholih, dan Romo KH. Aqiel Siroj. 
Selama kurang lebih tujuh tahun beliau mendalami ilmu-ilmu agama di pondok pesantren tersebut. 
Ketika KH. Umar Sholih menikah dengan ibu Nyai Hj. Aisyah putri al mukarrom Embah KH. Syathori Arjawinangun, Kyai Amin juga ikut mengaji pada Embah Tori tersebut.

Dari Pondok Pesantren Kempek, Kyai Amin, melanjutkan perjalanan ilmiahnya ke Pondok Pesantren Raudlatut Tholibin di Tanggir, Singgahan, Tuban, Jawa Timur. 

Masa-masa liburan pondok, biasanya beliau gunakan untuk ngaji pasaran di sejumlah pondok pesantren yang lain, dan yang pernah disinggahinya antara lain, pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, pondok pesantren di Rembang, Jawa Tengah, dan pondok pesantren Kaliwungu, di Jawa Tengah serta beberapa pesantrean lainnya.

Ketika masih menjadi santri Tanggir, Embah Tori (KH. Syathori), Arjawinangun, menitipkan putranya, KH. Ibnu Ubaidillah Syathori pada Kyai Amin untuk dibaturi, direwangi dan juga diwuruki, sebab menurut Embah Tori, Kyai Amin saat itu sudah dianggap “ Bisa “ ngaji.

Semasa mondok di Tanggir inilah, Kyai Amin sempat menikah dengan orang Margomulyo, kecamatan Kerek, Kabupaten Tuban, Jawa Timur. 
Pernikahan ini dikaruniai seorang putri yakni Rodliyatun. Namun karena sesuatu alasan, pernikahan Kyai Amin berakhir dengan firoq. Kemudian Kyai Amin disuruh pulang oleh ibunya ke Kertasemaya Indramayu.

Mengamalkan Ilmu Sepulang dari Pondok Pesantren

Pada waktu itu, di Kertasemaya, khususnya di blok Lebak (kini menjadi lokasi Pondok Pesantren Sirojut Tholibin) sudah ada tajug (musholla, yang kini menjadi musholla PPST) yang dikelola oleh paman beliau yaitu Kyai Thoyyib. 
Selama di rumah itulah, beliau berusaha mengamalkan apa yang telah ia dapatkan dari pengembaraan ilmiahnya selama ini. 
Pada akhirnya, ia diserahi tugas oleh pamannya tadi untuk bertanggung jawab penuh terhadap eksistensi tajug tersebut. Sedangkan Kyai Thoyyib sendiri pada saat itu mendirikan tajug lagi yang lokasinya di daerah blok Kepuh Desa Tulungagung Kecamatan Kertasemaya. 

Setelah Kyai Thoyyib meninggal dunia, tajug itu kini diurusi oleh menantunya yaitu Kyai Hariri Mannan yang berasal dari Karangsembung, Arjawinangun, Cirebon.

Pengakuan Masyarakat

Berangkat dari kepercayaan mengurus tajug, masyarakat mulai memerhatikan sepak terjang, tingkah laku, amaliyah, akhlak, dan ilmu Kyai Amin. 

Akhirnya, perlahan-lahan masyarakat mulai mengakui Kyai Amin sebagai seorang tokoh.
Tokoh dari segi keilmuan, amaliyah, akhlak dan kepemimpinan. 
Pengakuan tersebut dapat di baca dari jumlah anak-anak yang ingin mengaji, undangan ceramah pengajian dari desa-desa tetangga, sampai jabatan-jabatan strategis organisasi kemasyarakatan sering dipasrahkan kepadanya.

Pondok Pesantren Sirojut Tholibin sebagai jawaban terhadap keinginan anak-anak yang ngaji di tajug pun berdiri pada tahun 1968. Undangan ceramah, (suatu ketrampilan orasi / pidato yang ditampilkan pertama kali pada tahun 1967, ketika beliau sering diminta menggantikan posisi gurunya waktu masih tercatat sebagai santri Tanggir bila berhalangan menghadiri undangan ceramah dari masyarakat setempat), sering beliau terima. 



Sementara, hal-hal yang berhubungan dengan kepemimpinan (organisasi), dimulai ketika beliau masih menjadi santri Kempek. Itu berarti terjadi sekitar sebelum tahun 60-an. Pada waktu itu Romo KH. Umar Sholih menunjuk beliau untuk menjadi Lurah Pondok Pesantren Kempek menggantikan lurah lama yang boyong tanpa permisi. (Bersambung bagian 2)

Baca Bagian 2 DISINI

Baca Bagian 3 DISINI

Penulis : KH Amin Mubarok

Sumber: Buku Jejak Ulama Nahdlatul Ulama Indramayu



Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel