KH. ARSYAD ULAMA NU INDRAMAYU YANG MELAWAN JEPANG

Peran historis ulama dan kaum santri dalam membela dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah peran nyata, gerakan nyata dan semangat nyata, tentang betapa kaum santri dalam sejarahnya telah memiliki tradisi yang kuat dalam mengajarkan tentang bagaimana sesungguhnya memiliki bangsa dan negara yang berdaulat, menjadi sesuatu yang niscaya dan bahkan “wajib”. 

Sejarah perjuangan kaum santri sudah dimulai dari zaman penjajahan Belanda dan berlanjut pada masa penjajahan Jepang. Jepang pertama kali mendatangi dan melakukan penyerangan terhadap Hindia-Belanda (Indonesia) pada tahun 1942. Jepang pada awalnya menduduki kawasan Hindia-Belanda mendapat sambutan positif dari masyarakat, selain sama-sama dari wilayah Asia, Jepang pula menjuluki dirinya sebagai “saudara tua” yang siap membebaskan dan memerdekakan rakyat Hindia-Belanda dari tangan penjajah Belanda.  

Pada 11 Januari 1942 Jepang mendarat di wilayah Tarakan Kalimantan Timur. Kemudian melebarkan sayapnya ke Jawa pada 1 Maret 1942 dengan mendarat di teluk Banten, Eretan Wetan (Indramayu), dan Kragen (Marwati dan Nugroho, 1993 :1). Jepang terus menjanjikan untuk membebaskan wilayah Hindia-Belanda dari penjajahan, bahkan menjanjikan kemerdekaan. Akan tetapi, setelah sekian lama menduduki kawasan Hindia-Belanda Jepang justru melakukan penjajahan baru. Penjajahan yang dilakukan oleh Jepang tidak kalah sadis seperti yang dilakukan Belanda. Keadaan ini akhirnya menggugah rakyat Hindia-Belanda untuk melawan. 

Perlawanan-perlawanan terus dilakukan dari satu daerah ke daerah lain, dengan dimotori atau dikomandani oleh pemimpin berbagai elemen masyarakat di antaranya perlawanan Cot Plieng Aceh 10 November 1942, peristiwa Singaparna Tasikmalaya, pemberontakan Teuku Hamid, dan perlawanan di Indramayu (L De Jong dan Arifin Bey, 1987: 56). Tujuan utama Jepang menduduki kawasan Hindia-Belanda adalah untuk mengekploitasi sumber daya alam yang dimiliki khususnya di Jawa.  Kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh Jepang terhadap wilayah Hindia-Belanda tidak lepas dari dampak perang melawan tentara Sekutu. Tentara Jepang terus ditekan dan semakin hari pasokan pangan terus berkurang, bahkan jumlah tentara Jepang terus menyusut. 

Kondisi ini kemudian menginisiasi pimpinan Jepang untuk menerapkan kebijakan tentang pangan, serta merekrut laki-laki untuk menjadi bagian dari tentara Jepang.  Indramayu dikenal sebagai salah satu daerah pertanian padi terbesar khususnya di Jawa, sehingga wajar untuk pertama kalinya Jepang menginjakkan kaki ke Jawa salah satunya memilih di wilayah Indramayu. Wilayah Indramayu secara umum merupakan wilayah pertanian, bahkan sewaktu zaman Belanda kepemilikan lahan lebih didominasi oleh kepemilikan perseorangan secara turun-temurun (yasa) (Zamzami Amin,2015:114), hal ini berbeda dengan wilayah lainnya seperti di Cirebon. Indramayu juga dipandang oleh Jepang sebagai “wilayah yang bernilai lebenstrum, living space, ruang kehidupan dalam pengertian geostrategic”. (Wahyu Iryana, 2016). 

Alasan lain kenapa Jepang memilih singgah di Eretan (Indramayu) karena berdekatan dengan lapangan terbang Kalijati Subang, sebagai pusat Angkatan Udara Inggris, sehingga dengan hitungan hari Jepang dapat menguasai dan mengambil alih kawasan Kalijati. Selain itu, alasan yang tidak kalah penting bagi Jepang memilih singgah di Laut Eretan Indramayu, karena memiliki simpanan minyak bumi.  Desa Kaplongan secara administratif masuk dalam wilayah Indramayu, juga memiliki keunggulan layaknya daerah Indramayu lainnya yakni wilayah yang mengandung minyak bumi dan wilayah pertanian (Wahyu Iryana, 2016: 288). 

Selain terkait kebijakan padi, penjajah Jepang juga menerapkan suatu kebijakan yang mewajibkan masyarakat pribumi untuk hormat pada bendera Jepang (seikeirei) dengan menundukkan kepala, posisinya persis seperti sedang “rukuk” dalam shalat. Penghormatan pada bendera Jepang yang berlebihan ini juga memiliki pengaruh besar dalam memicu aksi protes masyarakat, khususnya para kiai.  Kebijakan tersebut dipandang sebagai tindakan penyekutuan terhadap Tuhan dan merupakan tindakan dilarang dalam agama Islam. 

Menurut A. Dasuki (1977) perlawanan di Kaplongan Indramayu banyak melibatkan santri dan kiai seperti KH Sulaiman, K. Sidik, H. Abdul Ghani, dan H. Aksan. Walaupun perlawanan yang dilakukan tanpa perhitungan dan strategi matang, namun sempat membuat kewalahan, pihak Jepang khususnya Keresidenan Cirebon.  Peran perjuangan kiai dan santri NU di Indramayu sangat jelas tergambar dalam perlawanan yang terjadi di Kaplongan terhadap penjajah Jepang. Berdasarkan keterangan KH Badruzzaman (2017) setidaknya beberapa aktor yang terlibat dalam perlawanan melawan Jepang di antaranya yakni KH Arsyad.  Beliau adalah keturunan dari kerajaan Demak dan keturunan ulama masyhur di Karawang yaitu Syekh Sakuro (Syekh Quro). 

KH Arsyad pernah mesantren di Babakan Cirebon dan Bangkalan Madura. KH Arsyad dalam melakukan dakwah (syiar Islam) khususnya di Desa Kaplongan dilakukan melalui cara damai, sabar, dan tidak memaksa. KH Arsyad juga dipandang sebagai kiai sepuh NU yang sakti mandraguna dengan penguasaan ilmu hikmah yang sangat luar biasa.  Awal dimulainya perlawanan petani Kaplongan ialah saat di mana para petani diperintahkan oleh sonchô untuk mengangkat padi-padi milik H. Aksan. Petani yang melakukan proses tersebut sebenarnya melakukannya dengan setengah hati, sedangkan H. Aksan sendiri menerima dengan lapang. Singkatnya di pertengahan proses tersebut, para petani meminta istirahat untuk shalat karena sudah memasuki waktu shalat Jumat, namun pihak sonchô menolak dan memerintahkan para petani untuk melanjutkan. 

Melihat tingkah sonchô dan polisi pengawalnya semena-mena tersebut, para petani melakukan protes bahkan sonchô sampai mengalami luka-luka dan membuat dua polisi pengawalnya terbunuh.  Petani mengetahui risiko yang akan dihadapi di kemudian hari, sehingga mendatangi rumah seorang kiai sepuh NU yaitu KH Arsyad, dengan keadaan demikian, penuturan Ustadz Kozat (2017) akhirnya dilakukanlah konsolidasi di mushala KH Arsyad dengan dihadiri oleh para tokoh, terutama mereka yang dianggap memiliki ilmu bela diri dan kesaktian.  

Perundingan diawali dengan pembacaan kitab Barzanji (marhabanan) dan tahlil. Kemudian masing-masing masyarakat yang hadir dibekali ilmu-ilmu kesaktian oleh KH Arsyad dan K. Sidik, dengan cara diberikan bacaan-bacaan tertentu dan menceburkan diri ke dalam balong (kolam) milik KH Arsyad atau sekedar melakukan wudhu.  Hasil perundingan yang dilakukan menghasilkan keputusan mutlak bahwa seluruh unsur masyarakat harus melakukan perlawanan terhadap Jepang. Pengambilan keputusan untuk melakukan perlawanan juga dilandasi oleh semangat jihad fi sabilillah yang diserukan, sehingga lebih meyakinkan para tokoh dan masyarakat yang hadir dalam perundingan tersebut. Perlawanan masyarakat Indramayu terhadap kolonial Jepang berlangsung dari bulan April sampai Agustus 1944.  

Perlawanan di Desa Kaplongan tercatat sebagai kejadian pertama terjadi pada 3 April 1944. Perlawanan kembali muncul pada 6 Mei 1944, yang dikenal dengan sebutan “Pemberontakan Cidempet”. Selanjutnya, perlawanan-perlawanan terus muncul di daerah lain di Indramayu seperti di kecamatan Sindang, Lohbener, Losarang, Sliyeg dan Kertasmaya. (A. Dasuki, 1977: 274-281).  Menghadapi gejolak massa yang kian meluas, bentuk-bentuk perlawanan kiai NU Indramayu tercermin dalam semua perlawanan yang terjadi di Indramayu, seperti KH Arsyad, H. Aksan dan K. Sidik di Kaplongan Kecamatan Karangampel, H. Madrais di Lohbener dan Sindang, K. Mi’an di Gantar Kecamatan Anjatan, dan lainnya.  

Pola perlawanan yang terjadi antara satu wilayah dengan wilayah lain memiliki persamaan, yakni melawan penjajah (ketidakadilan) khususnya melalui kebijakan wajib serah padi, perlawanan dibungkus dengan nilai-nilai spiritual (jihad fi sabilillah) atau sebatas melakukan ritual keagamaan sebelum melakukan perlawanan (marhabanan, wudhu dan lainnya) dan pimpinan perlawanan selalu diisi oleh seorang kiai atau santri (pemuka agama) setempat. Ahmad Dasuki (1977) menuturkan bahwa tidak berapa lama setelah terjadinya peristiwa tersebut, keadaan daerah Kaplongan menjadi tegang. Ketegangan terjadi lantaran pihak Jepang tidak terima atas tindakan masyarakat yang dipandang membangkang. 

Pemerintah Jepang akhirnya mengirimkan bantuan tentara sebanyak dua truk untuk ditugaskan di wilayah Karangampel. Segala trik dan taktik dilakukan oleh Jepang untuk menundukkan masyarakat Kaplongan. Singkatnya setelah melalui penyerangan melalui senjata tidak berhasil, Jepang menahan diri sambil menunggu keadaan tenang dan kondusif, setelah itu para pimpinan atau yang dipandang sebagai tokoh masyarakat ditangkap satu demi satu dan dibawa Keresidenan Cirebon.  Persembunyian K. Sidik diketahui pihak Jepang hingga akhirnya dilakukan penangkapan dan pembunuhan. H. Aksan sendiri diketahui sebagai salah satu tokoh yang ditahan dan kemudian hari dibebaskan, sebagaimana diketahui bahwa H. Aksan meninggal di tahun 1970-an. 

Sementara KH Arsyad menjadi salah satu tokoh yang selamat dari peristiwa penangkapan dengan bersembunyi di Desa Dadap, dan meninggal pada tahun 1960-an.  Berdasarkan hal di atas, sejarah mencatat bahwa sosok kiai/santri NU telah banyak mempengaruhi perubahan dan perkembangan sosial di masyarakat. Perkembangan Islam di Indonesia sendiri tidak luput atas kerja kiai/santri dan pesantren. Peristiwa perlawanan ini menunjukkan bagaimana peran para kiai/santri tersebut ikut serta bahkan menjadi motor atas perlawanan masyarakat. 

Perlawanan yang dilakukan masyarakat Indramayu tidak semata-mata disebabkan karena faktor ekonomi saja, terdapat faktor lain yang berkaitan dengan kehidupan sosial politik dan keagamaan masyarakat. Dengan demikian hendaknya para santri pada dewasa ini mampu menggali lebih dalam dan luas bagaimana peran para kiai sebagai penggerak dalam melakukan perlawanan terhadap penjajah, khususnya di wilayah Indramayu.  Diharapkan juga para santri dapat mengambil hikmah dan mengikuti semangat juang para kiai yang telah berjuang dalam rangka mengisi kemerdekaan Indonesia dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.   

Penulis: Rifqi Musthofa


Sumberhttps://jabar.nu.or.id/tokoh/kh-arsyad-ulama-nu-indramayu-yang-melawan-kolonial-jepang-fmzSW

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel