Mutiara Kalimat Basmalah

 
Bismi Allâh al-Rahmân al-Rahîm

“ Menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”

Dalam setiap aktivitas yang kita lakukan, apa harapan yang terbersit dalam hati dan pikiran kita akan akitivtas yang mungkin sangat melelahkan tersebut? Tentu saja setiap apa yang kita lakukan memiliki tujuan. Lantas apakah tujuan itu? Kita mungkin akan menjawab, bahwa tujuan dari setiap gerak langkah dan tindakan kita adalah bermuara pada sesuatu yang kita sebut sebagai kebahagiaan. Lantas apakah kebahagiaan itu? Maka mulai dari sinilah jawaban yang berbeda akan muncul.


Beberapa orang mendefinisikan kebahagiaan dengan kesenangan ketika memiliki sesuatu. Kepemilikan ini tidak hanya meliputi benda-benda fisik yang dapat dirasakan oleh panca indera, seperti rumah, mobil dan sebagainya, namun juga benda-benda non fisik yang tidak dirasakan secara langsung oleh indra kita namun dapat dirasakan oleh jiwa terdalam dalam diri kemanusiaan kita, seperti jabatan, karir, cinta dan sebagaian hal yang menyangkut kepuasan batiniyah manusia.

Jika kita sepakat terhadap definisi tersebut, maka kebahagiaan bagi sebagian besar orang selalu dikaitkan dengan kepemilikan. Dengan demikian, setiap tindakan atau aktivitas yang kita lakukan di atas dunia ini tentu berorientasi pada seberapa besar kepemilikan yang akan kita dapatkan sebagai pamrih dari apa yang kita lakukan. Konsep ini cenderung lebih materialistis dan logika yang dipakai dalam setiap upayanya adalah selalu berkaitan dengan untung dan rugi secara material.

Selain tentang kepemilikian, beberapa orang juga menganggap bahwa bahagia adalah suatu kesenangan yang dicapai oleh setiap orang menurut kehendak masing-masing. Karenanya ukuran kebahagiaan adalah diri sendiri. Maka dapat disimpukan bahwa kebahagiaan bersifat relatif dan ego sentris.

Namun begitu, walau pun rumusan kebahagiaan bersandar pada diri sendiri, betapa banyak manusia yang hidup di dunia ini selalu merasa bergerak menjauh kepada kebahagiaan. Berdasarkan hal tersebut, maka yang menjadi pertanyaan yang utama adalah, adakah rumusan yang tepat untuk menggapai kebahagiaan dengan benar?

Bagi setiap muslim selalu diajarkan oleh generasi yang lebih senior yakni para sesepuh dan pemuka agamanya untuk selalu memulai setiap aktivitas dengan mengucapkan basmalah. Berbeda dengan konsep kebahagiaan yang berdasarkan pada kepemilikian atau kesenangan pribadi di atas, pengucapan basmalah pada dasarnya adalah sebuah penyandaran yang dilakukan oleh manusia kepada Nama Dzat yang wajib ada-Nya (wajib al-wujūd), dan yang menghimpun setiap kesempurnaan melalui Dzat-Nya. Nama tersebut adalah Allah, Dialah Nama Yang Agung (Ism al-‘Azam) yang memiliki sifat penyayang yang umum (rahmah al-‘amah), yakni mencipta dan memelihara, serta pemiliki sifat penyayang yang khusus (raḥma al-ḥassha) yakni memberi petunjuk kepada kebahagiaan abadi.

Pengucapan basmalah menjadikan seorang muslim menjadi pribadi yang pasrah namun dinamis. Seorang muslim tahu bahwa kebahagiaan pasti akan datang dengan sendirinya.Tugas kita hanya berusaha untuk menyempatkan diri dalam menikmati setiap tetes kebahagiaan yang kita miliki, bukan malah memikirkan sesuatu yang tidak kita miliki yang masih dalam dugaan bahwa hal yang belum kita miliki tersebut mungkin akan membuat kita bahagia.

Karena hal tersebut, maka basmalah sangat dianjurkan untuk diucapkan dalam berbagai permulaan yang penting, agar perbuatan yang dilakukan oleh manusia tersebut senantiasa disandarkan kepada Nama Allah, baik secara lahir maupun batin. Bukankah setiap muslim percaya bahwa tidak ada satupun perbuatan seorang hamba kecuali atas kehendak Allah swt? Setiap perbuatan membutuhkan kekuatan, dan kita semua sepakat dan memahami bahwa tidak ada kekuatan yang terbesar di alam semesta ini selain kekuatan Allah swt. Dikarenakan hal tersebut maka segala sesuatu yang disandarkan kepada Allah pada hakikatnya adalah milik-Nya.

Sebagai hamba Allah (‘Abd Allâh) setiap perbuatan kita terjadi melalui Allah swt., karena itu pada hakikatnya segalanya sudah disandarkan kepada Nama Allah, “Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki.”(QS. Hûd: 107). Demikianlah secara batiniyah setiap perbuatan seorang hamba secara otomatis sudah disandarkan kepada Allah swt. Namun jika seorang hamba tersebut menyebutkan Nama Allah melalui basmalah di awal perbuatannya, maka ia tidak hanya menyandarkan perbuatannya secara batin tetapi juga secara lahir. Sehingga perbuatan itu semakin sempurna dan penuh makna. Namun jika ia tidak menyebutkan basmalah dalam setiap perbuatannya, maka seorang hamba tersebut menyandarkan perbuatannya kepada dirinya sendiri. Dengan demikian, perbuatannya menjadi tidak sempurna dan bermakna, bahkan ia terjebak kepada kesyirikan dan kesombongan kepada Allah swt. Dengan kata lain jika kita enggan mengucapkan basmalah di awal aktivitas kita maka kita telah melakukan perbuatan yang sombong karena menganggap bahwa apa yang kita lakukan dan kita cita-citakan melalui perbuatan kita sudah pasti akan terwujud tanpa adanya campur tangan dari Yang Maha Kuasa.

Jika kesombongan telah meliputi hati dan perbuatan seorang hamba maka ia akan jauh dari Cahaya Allah dan akan terjebak pada kegelapan (dhulma). Ia tersesat dan tak tahu ke mana arah yang ditujunya. Ia terjebak dalam kebingungan yang sangat, bagaikan seorang musafir buta yang tak dapat menentukan ke mana arah yang ditujunya. Bukankah kehidupan ini adalah perjalanan untuk menuju kampung ahirat? Karena itu sebutlah nama Allah swt. di setiap langkah agar senantiasa mendapatkan petunjuk.

Demikianlah bahwasanya kebahagiaan bukan seberapa banyak sesuatu yang kita miliki di dalam hidup ini. Kepemilikian di dalamnya mengandung tanggung jawab yang sangat besar. Sebagai manusia yang memiliki begitu banyak kelemahan di dalam dirinya, pelaksanaan tanggung jawab adalah tugas yang sangat berat. Karenanya bersandar kepada Allah swt adalah sesuatu yang sangat dianjurkan oleh ajaran Islam. Kepemilikian berbuah tanggung jawab dan tanggung jawab akan menggugah untuk melakukan pemberian. Pada ahirnya terlaksananya tanggungjawab kemanusiaan kita akan melahirkan kebahagiaan yang sejati yang tidak akan pernah lekang oleh waktu.


Pada akhirnya kebersandaran kepada Allah bukanlah sebuah sikap fatalistik yakni pasrah tanpa upaya sama sekali. Karena sikap fatalistik tersebut berarti pula mengingkari nikmat usaha atau ikhtiar yang diberikan Allah kepada mahluk-Nya. Oleh karenanya berhentilah mencari kebahagiaan, karena yang diperlukan oleh kita adalah berusaha untuk merasakan dan menikmati kebahagiaan dengan cara selalu mengedepankan sikap syukur dan merasa cukup terhadap apa yang dimiliki (qona’ah).

Wallahu a'lam bish-shawab

Penulis: Frenky Mubarok (Dosen STAIS Dharma Indramayu)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel