Dekomposisi Identitas Guru: Antara Peran dan Status
Dekomposisi Identitas Guru: Antara
Peran dan Status
Dalam
wacana publik yang berkembang, “guru” sering diidentikkan dengan profesi formal
yang memiliki jam kerja, sertifikat, dan gaji tetap. Padahal, secara
konseptual, guru bukan semata status sosial, melainkan peran transformasional
yang menyentuh aspek moral dan spiritual. Guru adalah setiap orang yang mampu
mengubah ketidaktahuan menjadi pengetahuan, kebodohan menjadi kebijaksanaan,
dan keburukan menjadi kebaikan. Dalam pandangan Islam, posisi guru bahkan
disetarakan dengan pewaris para nabi (al-‘ulama waratsatul anbiya).
Pandangan ini menunjukkan bahwa hakikat seorang guru terletak pada dedikasi dan
ketulusan dalam menuntun manusia menuju kebenaran.
Namun,
pendidikan modern di Indonesia telah memisahkan antara “guru sebagai profesi”
dan “guru sebagai panggilan jiwa”. Status formal kini menjadi ukuran tunggal
legitimasi, sementara dimensi ruhaniah dan pengabdian justru terpinggirkan.
Banyak guru akhirnya terjebak dalam rutinitas administratif yang menumpulkan
semangat pengabdian mereka. Fenomena ini melahirkan generasi pendidik yang
lebih fokus pada sertifikasi dan kenaikan pangkat ketimbang pada misi
pencerahan. Akibatnya, ruang kelas kehilangan makna spiritual dan berubah
menjadi sekadar tempat bekerja, bukan tempat menumbuhkan jiwa.
Menurut
Paulo Freire, pendidikan sejati adalah proses “dialogis” yang membebaskan,
bukan “banking education” yang menindas. Dalam pandangan ini, guru tidak
bertindak sebagai deposan pengetahuan, melainkan fasilitator kesadaran yang
membuka ruang bagi murid untuk berpikir kritis. Namun di banyak sekolah dan
universitas di Indonesia, model pendidikan yang diterapkan justru bersifat satu
arah dan hierarkis. Murid dianggap sebagai wadah kosong yang harus diisi, bukan
subjek yang berhak menafsirkan pengetahuan. Hilangnya fungsi dialog ini
menandai keringnya dimensi kemanusiaan dalam proses belajar-mengajar.
Kontributor
Akang
Marta
Indramayutradisi