Ads

Krisis Kejujuran sebagai Akar Masalah Pendidikan

 

Krisis Kejujuran sebagai Akar Masalah Pendidikan



Salah satu contoh konkret dari krisis kejujuran dalam pendidikan adalah peristiwa ketika seorang guru mempermalukan murid sekolah dasar yang dituduh mencuri, merekam insiden itu, lalu menyebarkannya ke publik. Tindakan tersebut mencerminkan runtuhnya nilai-nilai pedagogis yang paling mendasar, yaitu empati, kesabaran, dan penghormatan terhadap martabat manusia. Dalam pandangan psikologi perkembangan, anak usia sekolah dasar belum memiliki kematangan sosial dan moral yang stabil. Kesalahan mereka bukanlah cerminan dari watak jahat, melainkan bagian dari proses belajar yang memerlukan bimbingan dan keteladanan. Karena itu, perilaku guru yang mempermalukan murid justru mengkhianati hakikat pendidikan itu sendiri.

Ketika seorang guru justru menindas muridnya, hal itu menandakan dua hal penting yang saling berkaitan. Pertama, absennya kompetensi profesional dalam diri pendidik. Kedua, adanya degradasi nilai kejujuran dan integritas dalam proses rekrutmen tenaga pendidik. Banyak guru yang tidak berkompeten dapat menjadi aparatur negara bukan karena prestasi akademik, tetapi karena praktik nepotisme atau korupsi birokratis. Dari sinilah tampak jelas hubungan kausal antara ketidakjujuran sistemik dan keruntuhan moral dalam dunia pendidikan.

Ki Hajar Dewantara dalam Pendidikan (1935) menegaskan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan serta kebahagiaan setinggi-tingginya. Prinsip “menuntun” ini hanya bisa dijalankan bila pendidik memiliki kejujuran hati dan keteladanan moral yang kuat. Dalam kenyataannya, banyak pendidik kehilangan jiwa tersebut karena terjebak dalam sistem yang materialistis dan pragmatis. Kejujuran dan pengabdian sering kali dikalahkan oleh kepentingan pribadi maupun tekanan administratif. Akibatnya, pendidikan kehilangan ruh sebagai proses pembentukan manusia seutuhnya.

Ketika guru memperoleh status tanpa kompetensi dan kepala sekolah mendapatkan jabatan tanpa integritas, maka pendidikan kehilangan maknanya yang luhur. Dunia pendidikan tidak lagi menjadi arena pembudayaan manusia, tetapi sekadar mesin birokrasi yang mengejar angka dan laporan. Sistem ini mendorong para pendidik untuk mematuhi aturan formal tanpa memahami makna moral di baliknya. Akibatnya, peserta didik tumbuh dalam lingkungan yang menormalisasi ketidakjujuran dan ketakutan. Jika kondisi ini terus berlanjut, maka krisis kejujuran akan menjadi warisan antargenerasi yang sulit disembuhkan.

Kontributor

Akang Marta

Indramayutradisi

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel