Ads

Menyalakan Kembali Api dalam Dada

 

Menyalakan Kembali Api dalam Dada



Di akhir semua refleksi ini, kita kembali pada satu pertanyaan sederhana namun mendasar: apakah pendidikan kita masih punya jiwa? Pertanyaan ini bukan sekadar retoris, melainkan panggilan batin untuk menilai ulang arah pendidikan bangsa. Di tengah hiruk pikuk kebijakan, target, dan reformasi, kita sering lupa menanyakan: apa tujuan sejati dari semua ini? Apakah kita masih mendidik manusia, atau hanya melatih mesin sosial yang patuh tanpa nurani? Pendidikan yang kehilangan jiwa akan melahirkan generasi yang pandai berpikir, tetapi kering dalam rasa dan moral.

Selama masih ada guru yang mengajar dengan cinta dan murid yang haus akan makna, maka api pendidikan itu belum padam sepenuhnya. Api kecil itu adalah simbol harapan — cahaya yang lahir dari ketulusan hati di tengah kegelapan sistem. Namun, api ini rapuh dan bisa padam kapan saja jika terus diterpa angin ketidakpedulian dan birokrasi yang kaku. Setiap kebijakan yang mengabaikan kemanusiaan adalah tiupan yang melemahkan nyala itu. Karena itu, menjaga jiwa pendidikan berarti menjaga kemanusiaan itu sendiri.

Tugas kita hari ini bukan hanya memperbaiki kurikulum atau membangun sekolah yang megah, tetapi menyalakan kembali api dalam dada para guru dan murid. Api itu adalah api kejujuran, api kasih, dan api pencarian kebenaran yang tak boleh padam. Pendidikan sejati lahir dari ruang hati, bukan dari meja rapat atau regulasi teknis. Jika guru mengajar dengan cinta dan murid belajar dengan makna, maka ruang kelas sekecil apa pun bisa menjadi sumber perubahan besar. Di situlah inti dari pendidikan yang berjiwa dan memanusiakan manusia.

Sebagaimana kata Ki Hajar Dewantara, “Setiap orang menjadi guru, setiap rumah menjadi sekolah.” Ungkapan ini mengandung makna mendalam bahwa pendidikan adalah tanggung jawab kolektif, bukan monopoli lembaga formal. Pendidikan sejati tumbuh dari keluarga, masyarakat, dan setiap interaksi yang menumbuhkan nilai kemanusiaan. Paulo Freire menegaskan hal serupa ketika berkata, “Pendidikan sejati adalah tindakan cinta; karena hanya dengan cinta, manusia dapat berubah.” Dari cinta dan kesadaran inilah pendidikan menemukan bentuknya yang paling luhur.

Jika kita berani kembali pada cinta dan kejujuran dalam mendidik, maka Indonesia tidak hanya akan menjadi bangsa yang cerdas, tetapi juga beradab. Kecerdasan tanpa moral akan melahirkan kehancuran, tetapi kecerdasan yang dibimbing kejujuran akan melahirkan peradaban. Ketika pendidikan dijalankan dengan kesadaran hati, maka visi Indonesia Emas 2045 bukan lagi sekadar slogan politik. Ia akan menjadi kenyataan moral yang tumbuh dari ruang-ruang kelas penuh cinta dan integritas. Dan di sanalah, bangsa ini menemukan kembali jiwanya yang hilang.

 

Kontributor

Akang Marta

Indramayutradisi

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel