Menghidupkan Kembali Ruh Guru
Menghidupkan Kembali Ruh Guru
Di tengah
krisis ini, kita perlu kembali bertanya: apa makna sejati menjadi guru? Gelar,
sertifikasi, atau status ASN bukanlah ukuran utama seorang pendidik. Menjadi
guru sejati berarti menjalani panggilan jiwa yang mendalam untuk menuntun
manusia menuju kebaikan. Seorang guru sejati adalah pribadi yang hadir bukan
hanya untuk mengajar, tetapi untuk membangkitkan kesadaran dan menumbuhkan
kemanusiaan. Ia bukan hanya penyampai ilmu, melainkan pembimbing jiwa yang
menghadirkan makna hidup dalam setiap proses belajar.
Dalam
tradisi Islam, tugas mendidik disebut tarbiyah, yang berasal dari akar
kata rabb — menunjukkan hubungan antara Tuhan yang menumbuhkan dan hamba
yang dibimbing. Dari makna itu, mendidik berarti menumbuhkan, bukan sekadar
mengisi kepala dengan pengetahuan. Guru sejati meneladani sifat rabbani,
yaitu menumbuhkan potensi manusia agar mencapai kedewasaan moral dan spiritual.
Ia melihat setiap murid sebagai makhluk yang sedang tumbuh menuju kebaikan,
bukan sekadar objek evaluasi. Dengan demikian, pendidikan sejati adalah kerja
kasih yang berakar pada kesadaran ilahiah.
Guru
dengan jiwa seperti ini tidak akan berhenti belajar, sebab ia tahu bahwa
mengajar adalah bagian dari perjalanan spiritual. Ia belajar dari muridnya,
dari pengalaman, dan dari setiap kesalahan yang terjadi di kelas. Paulo Freire
pernah menulis, “Guru yang sejati adalah mereka yang terus belajar saat
mengajar,” menegaskan bahwa pendidikan adalah proses dialog dua arah. Dalam
hubungan itu, guru tidak berada di atas murid, melainkan berjalan bersama dalam
pencarian makna. Dari kesadaran inilah lahir guru yang rendah hati, reflektif,
dan penuh cinta pada kehidupan.
Mengembalikan
kejujuran sebagai inti pendidikan menjadi tugas paling mendesak bagi bangsa
ini. Tanpa kejujuran, pendidikan hanya melahirkan generasi yang pandai menipu
sistem tetapi gagal menipu dirinya sendiri. Kejujuran dalam penilaian,
penelitian, dan hubungan antara guru dan murid harus menjadi napas setiap
kegiatan belajar. Ia bukan sekadar nilai moral, melainkan fondasi intelektual
yang menjaga kemurnian ilmu pengetahuan. Pendidikan yang berjiwa jujur akan
membentuk manusia yang utuh — cerdas secara nalar, bersih secara hati, dan kuat
secara moral.
Karena
itu, reformasi pendidikan tidak cukup berhenti pada perubahan kurikulum atau
digitalisasi sistem belajar. Reformasi sejati harus dimulai dari pembangunan
etos kejujuran dan tanggung jawab moral di setiap ruang kelas. Pemerintah dapat
mengubah aturan, tetapi perubahan hakiki hanya akan terjadi ketika guru-guru
memutuskan untuk kembali jujur. Jujur dalam menilai, jujur dalam mengajar, dan
jujur dalam menjadi manusia yang mendidik dengan hati. Ketika kejujuran kembali
menjadi napas pendidikan, maka bangsa ini akan menemukan kembali ruh
pendidikannya yang hilang.
Kontributor
Akang
Marta
Indramayutradisi