Ads

Jiwa Guru yang Hilang dan Perubahan Orientasi Profesi

 

Jiwa Guru yang Hilang dan Perubahan Orientasi Profesi



Generasi guru terdahulu di Indonesia dikenal karena keikhlasannya yang tulus dan tanpa pamrih. Banyak guru madrasah dan ustaz desa yang mengajar tanpa upah, namun tetap dihormati oleh masyarakat karena keluasan ilmu dan keteladanan sikap. Jiwa guru—sebagaimana disebut Nurcholish Madjid (1992) dalam Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan—merupakan bentuk pengabdian yang menolak komersialisasi pengetahuan. Guru bukan sekadar buruh intelektual, melainkan pelayan peradaban yang menanamkan nilai-nilai kemanusiaan. Mereka mengajar bukan demi imbalan, tetapi demi keberlanjutan moral bangsa.

Kini semangat itu perlahan memudar, tergantikan oleh paradigma profesionalisme yang sering kehilangan ruh pengabdian. Profesi guru direduksi menjadi kontrak ekonomi yang diukur dengan sertifikat dan angka kredit. Banyak guru honorer di Indonesia menerima gaji jauh di bawah standar kemanusiaan; menurut data Kemendikbudristek 2024, 74% bergaji di bawah Rp2 juta per bulan, dan 20% bahkan di bawah Rp1 juta. Ironisnya, kenaikan gaji dan tunjangan tidak selalu sejalan dengan peningkatan mutu pengajaran di kelas. Survei SMERU Research Institute (2022) juga menunjukkan tidak ada korelasi signifikan antara sertifikasi guru dan kualitas pembelajaran.

Kondisi ini menunjukkan bahwa akar masalah pendidikan tidak terletak pada rendahnya insentif material semata, melainkan pada degradasi spiritual dan moralitas profesi. Seorang guru dengan penghasilan terbatas tetapi berhati ikhlas sering kali memberi dampak jauh lebih besar dibandingkan guru bergaji tinggi yang kehilangan makna pengabdian. Dalam tradisi Islam, keikhlasan (ikhlas) dianggap sebagai sumber keberkahan dan kemurnian amal. Nilai berkah inilah yang kini menghilang dari sistem pendidikan yang terlalu birokratis dan materialistis. Jika keikhlasan tidak dihidupkan kembali, maka pendidikan akan kehilangan jiwanya sebagai sarana pembentukan manusia seutuhnya.

Kontributor

Akang Marta

Indramayutradisi

 

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel