Guru, Gaji, dan Martabat yang Tergusur
Guru, Gaji, dan Martabat yang Tergusur
Profesi
guru di banyak negara maju menempati posisi sosial yang sangat tinggi dan
terhormat. Finlandia sering dijadikan contoh ideal, di mana kepala sekolah bisa
bergaji setara pejabat tinggi negara, bahkan mencapai sekitar Rp200 juta per
bulan. Kondisi tersebut mencerminkan penghargaan negara terhadap peran
strategis guru sebagai pembentuk masa depan bangsa. Salah satu pembicara dalam
diskusi pendidikan menegaskan, “tidak harus segitu, tapi paling tidak Rp10 juta
per bulan adalah angka yang layak bagi guru di Indonesia.” Pernyataan ini
menggambarkan betapa pentingnya kesejahteraan guru sebagai dasar kualitas
pendidikan.
Sayangnya,
realitas di Indonesia masih jauh dari ideal. Profesi guru sering dianggap
sebagai pilihan kedua, bahkan ketiga, setelah karier di bidang lain yang lebih
menjanjikan. Banyak orang tua baru mengarahkan anaknya menjadi guru ketika
gagal masuk jurusan populer seperti kedokteran atau teknik. Akibatnya, dunia
pendidikan diisi oleh mereka yang tidak selalu memiliki panggilan jiwa sebagai
pendidik. Hal ini menyebabkan sistem pendidikan kehilangan energi spiritual dan
dedikasi yang seharusnya menjadi rohnya.
Salah
satu pembicara diskusi memberikan contoh yang menyentil, “Seharusnya anak
paling pintar di Indonesia mendaftar ke Universitas Negeri Jakarta untuk
menjadi guru, baru jika gagal, mendaftar ke kedokteran UI. Itu baru negara
menghargai pendidikan.” Kalimat ini menampar kesadaran kita bahwa pendidikan
seharusnya menjadi fondasi utama bangsa, bukan sekadar tempat pelarian. Ketika
kesejahteraan dan penghargaan terhadap guru diabaikan, martabat profesi ini pun
ikut terkikis. Akibatnya, sistem pendidikan hanya mampu mencetak pengajar,
bukan pendidik sejati. Pendidikan pun kehilangan kemampuannya untuk menumbuhkan
kebijaksanaan dan kemanusiaan.
Kontributor
Akang
Marta
Indramayutradisi