Ilmu vs. Hikmah: Ketika Pengetahuan Tidak Lagi Menyadarkan
Ilmu vs. Hikmah: Ketika Pengetahuan Tidak Lagi
Menyadarkan
Salah
satu bagian paling menarik dari percakapan itu adalah pembahasan tentang hikmah
sebagai inti pendidikan. Dalam pandangan keislaman, ilmu bukan sekadar
akumulasi pengetahuan, melainkan kesadaran yang menuntun manusia menuju
kebenaran. Nabi Luqman disebut dalam Al-Qur’an sebagai sosok yang diberi
hikmah—yakni kebijaksanaan untuk menempatkan ilmu pada tempat yang benar dan
bermanfaat. Hikmah menjadikan ilmu tidak hanya pintar secara intelektual,
tetapi juga arif secara moral. Tanpa hikmah, pendidikan akan kehilangan arah
dan maknanya sebagai jalan pencerahan.
Kini,
pendidikan di Indonesia terjebak dalam obsesi terhadap pengetahuan teknis dan
formalitas administratif. Semua hal diukur dengan angka, nilai, akreditasi, dan
sertifikat seolah-olah kualitas manusia dapat ditentukan oleh skor semata.
Namun, hasilnya justru paradoksal: pengetahuan meningkat, tetapi krisis moral
dan mental juga kian melonjak. Banyak siswa dan guru terjebak dalam sistem yang
menilai capaian, bukan kebijaksanaan. Seperti diungkapkan salah satu tokoh
pendidikan, “Pengetahuan tanpa guru yang membimbing hanya akan melahirkan
kekacauan.”
Data
Kementerian Kesehatan mencatat bahwa lebih dari 17 juta orang Indonesia
mengalami gangguan kesehatan mental. Angka ini menjadi cermin betapa pendidikan
kita gagal menumbuhkan ketenangan batin dan kebijaksanaan hidup. Ilmu tanpa
bimbingan dan kehadiran guru sejati hanya menambah kegelisahan dan keserakahan
intelektual. Guru sejati tidak hanya mengajar teori, tetapi juga membimbing
hati dan menuntun jiwa muridnya agar hidup bermakna. Itulah dimensi spiritual
pendidikan yang tidak akan pernah bisa digantikan oleh robot, algoritma, atau
kecerdasan buatan.
Kontributor
Akang
Marta
Indramayutradisi