Mendidik dengan Hati, Bukan Sekadar Mengajar Otak
Mendidik dengan Hati, Bukan Sekadar Mengajar Otak
Pendidikan
Indonesia sebenarnya tidak kekurangan rumusan, teori, atau kurikulum yang
canggih. Namun, yang hilang adalah hikmah—yakni kebijaksanaan untuk menempatkan
ilmu sebagai alat penyadaran, bukan sekadar pencapaian formal. Ilmu seharusnya
menuntun manusia menuju kemanusiaan, bukan hanya kompetisi dan gelar akademik.
Karena itu, pendidikan perlu kembali pada esensinya: mendidik manusia agar
beriman, berakal sehat, dan berperilaku jujur. Tanpa hikmah, ilmu hanyalah
kumpulan data tanpa makna.
Selama
guru masih dianggap sebagai profesi rendah, masalah pendidikan tidak akan
selesai. Selama kejujuran masih dikorbankan demi nilai akreditasi, pendidikan
hanya menjadi panggung sandiwara. Ketika politisi masih sibuk mengatur
kurikulum tanpa memahami ruh pendidikan, maka bangsa ini hanya akan terus
berputar di tempat yang sama. Reformasi pendidikan sejati tidak dimulai dari
perubahan dokumen, tetapi dari perubahan hati dan niat manusia di dalamnya.
Itulah tantangan terbesar bangsa ini dalam membangun peradaban yang berilmu.
Namun, di
tengah kegelapan itu, masih ada lentera-lentera kecil yang menyala. Ada
guru-guru yang tetap ikhlas mengajar di pelosok, pesantren yang mandiri tanpa
bantuan besar, dan masyarakat yang peduli akan pendidikan anak-anaknya. Dari
merekalah kita belajar bahwa pendidikan sejati tidak bergantung pada sistem,
tetapi pada manusia yang berjiwa guru. Seperti kata Ki Hajar Dewantara, “Setiap
orang menjadi guru, setiap rumah menjadi sekolah.” Selama masih ada jiwa
yang mau mengajar dengan cinta, Indonesia belum kalah.
🕮
Kontributor
Akang
Marta
Indramayutradisi