Institusionalisasi Pendidikan dan Degradasi Kualitas
Institusionalisasi Pendidikan dan
Degradasi Kualitas
Sejarah
pendidikan Indonesia mencatat bahwa sekolah guru dahulu merupakan lembaga yang
sangat bergengsi dan terhormat. Sejak masa kolonial Belanda, Hollandsche
Indische Kweekschool (HIK) dan Sekolah Guru Atas menjadi tempat bagi para
pelajar terbaik untuk menempuh pendidikan. Setelah kemerdekaan, sistem Institut
Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) melanjutkan tradisi tersebut dengan
mencetak guru-guru berkualitas tinggi. Namun, sejak era 1990-an, banyak IKIP
berubah menjadi universitas umum yang berorientasi pasar. Pergeseran ini
membuat dunia keguruan kehilangan status elitnya dan mengalami penurunan minat
dari generasi muda.
Kini,
profesi guru tidak lagi dianggap sebagai cita-cita luhur seperti dahulu. Banyak
mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) memilih jurusan tersebut
bukan karena panggilan jiwa, melainkan karena keterpaksaan atau pilihan
cadangan. Padahal, di negara-negara seperti Finlandia dan Jepang, profesi guru
justru menjadi impian pelajar terbaik. Di Finlandia, hanya 10% pendaftar dengan
kemampuan akademik tertinggi yang diterima di fakultas pendidikan (Sahlberg,
2011). Hal ini menunjukkan bahwa mutu pendidikan suatu bangsa berbanding lurus
dengan kualitas moral dan intelektual calon gurunya.
Penurunan
pamor profesi guru juga diperparah oleh arah pendidikan nasional yang semakin
teknokratis dan kehilangan nilai kemanusiaan. Kurikulum sering berubah
mengikuti dinamika politik dan proyek kebijakan, bukan berdasarkan kebutuhan
nyata peserta didik. Akibatnya, pendidikan menjadi semacam industri sertifikasi
dan kompetensi yang kering dari makna moral. Nilai-nilai kejujuran, empati, dan
kesadaran sosial kian tergeser oleh obsesi terhadap angka dan prestasi formal.
Seperti diingatkan Paulo Freire, sistem pendidikan yang kehilangan kesadaran
kritis hanya akan melahirkan “manusia mekanis”, bukan manusia yang merdeka
secara batin.
Kontributor
Akang
Marta
Indramayutradisi