Ads

Guru yang Terlupakan: Antara Profesi dan Panggilan Jiwa

 Guru yang Terlupakan: Antara Profesi dan Panggilan Jiwa



Di tengah semua masalah pendidikan — gaji rendah, sarana minim, kurikulum yang berubah-ubah — ada satu hal yang jauh lebih mengakar: krisis kejujuran. Krisis ini tidak tampak di ruang kelas, tetapi terasa dalam cara sistem berjalan setiap hari. Kita hidup dalam tatanan yang kerap memaafkan kebohongan kecil demi kenyamanan bersama. Ketika kebiasaan ini dibiarkan, integritas perlahan hilang dari makna pendidikan. Apa yang seharusnya menjadi ruang pembentukan karakter justru berubah menjadi arena kompromi moral.

Nilai siswa bisa diubah agar “sesuai target kelulusan”, seolah hasil lebih penting daripada proses. Laporan kegiatan dapat disusun tanpa pernah benar-benar dilakukan, hanya demi memenuhi tuntutan administrasi. Guru-guru pun sering dipaksa menjadi “pemain data”, bukan pendidik sejati yang membimbing hati dan pikiran muridnya. Ironisnya, kebiasaan manipulatif ini justru diinstitusikan sebagai bagian dari sistem kerja. Dengan begitu, kejujuran yang seharusnya menjadi dasar pendidikan berubah menjadi korban dari mekanisme birokrasi.

Bahkan di lingkungan akademik tinggi, praktik plagiarisme, titip absen, dan laporan penelitian fiktif telah dianggap hal biasa. Dunia yang seharusnya menegakkan integritas ilmiah kini ikut terseret dalam arus pragmatisme. Mahasiswa belajar bahwa kepintaran administratif lebih dihargai daripada ketulusan berpikir. Dosen pun terjebak dalam target publikasi yang menuntut kuantitas ketimbang kualitas. Semua ini memperlihatkan bahwa kebohongan dalam pendidikan telah merambat hingga ke akar sistemnya.

Inilah yang dimaksud Paulo Freire ketika ia menulis bahwa “pendidikan yang menindas adalah pendidikan yang mematikan kesadaran kritis.” Ketika kejujuran digantikan oleh kepatuhan buta, pendidikan kehilangan daya pembebasnya. Murid tidak lagi diajak untuk berpikir dan bertanya, tetapi hanya diarahkan untuk mengikuti aturan. Guru menjadi alat dari sistem, bukan subjek yang membebaskan manusia lain. Pendidikan tanpa kejujuran akhirnya bukan hanya gagal melahirkan intelektual, tetapi juga membentuk manusia yang terlatih untuk berpura-pura.

Ketika guru dan murid sama-sama hidup dalam sistem kepura-puraan, maka sekolah kehilangan moralnya. Nilai-nilai luhur seperti keadilan, tanggung jawab, dan kesadaran sosial digantikan oleh pencitraan dan formalitas. Krisis kejujuran ini bukan semata masalah individu, melainkan penyakit struktural yang tumbuh dari sistem yang menekan. Ia lahir dari obsesi terhadap hasil instan, bukan dari penghargaan terhadap proses yang bermakna. Jika hal ini terus berlanjut, pendidikan kita tidak lagi menjadi ruang pembebasan, melainkan cermin dari kemunafikan sosial yang kita biarkan tumbuh.

Kontributor

Akang Marta

Indramayutradisi

 

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel