Solusi Filosofis: Menghidupkan Kembali Etos Keilmuan dan Keikhlasan
Solusi Filosofis: Menghidupkan
Kembali Etos Keilmuan dan Keikhlasan
Memperbaiki
pendidikan Indonesia tidak bisa hanya dilakukan melalui pendekatan teknis,
seperti menaikkan gaji guru atau memperbarui kurikulum. Reformasi pendidikan
harus dimulai dari pembersihan moral dan revitalisasi etos keilmuan yang
mendasari seluruh proses belajar. Tanpa fondasi moral, kebijakan pendidikan
hanya akan melahirkan sistem yang efisien tetapi hampa makna. Dalam kerangka
itu, perlu dilakukan rekonstruksi kejujuran sebagai nilai dasar pendidikan
nasional. Kejujuran harus dipandang bukan sekadar sikap pribadi, tetapi sebagai
kompetensi utama dalam pembentukan karakter pendidik dan peserta didik.
Kejujuran
wajib menjadi standar utama dalam rekrutmen, pelatihan, dan evaluasi kinerja
guru. Penilaian terhadap guru seharusnya tidak hanya berorientasi pada hasil
ujian, tetapi juga pada integritas, keteladanan, dan tanggung jawab moral.
Seperti ditegaskan Ki Hajar Dewantara, pendidikan sejati adalah “tuntunan dalam
hidup tumbuhnya anak-anak”, bukan semata-mata transfer pengetahuan. Dalam
konteks ini, guru memiliki peran sebagai penuntun jiwa yang membantu anak
tumbuh menjadi manusia berkarakter. Ketika kejujuran dijadikan napas sistem
pendidikan, maka pengetahuan akan kembali menjadi sarana pembentukan manusia
seutuhnya, bukan alat kepentingan administratif.
Langkah
kedua adalah revitalisasi jiwa guru sebagai inti dari proses pendidikan. Guru
perlu direposisi bukan hanya sebagai pekerja birokratis, tetapi sebagai pamong
spiritual yang mendidik dengan kasih dan keteladanan. Dalam falsafah Taman
Siswa, konsep pamong bermakna “mengasuh dengan kasih”, di mana guru
berperan menumbuhkan potensi murid secara alami dan manusiawi. Di tengah arus
modernisasi, nilai-nilai empati, kesabaran, dan tanggung jawab sosial harus
dihidupkan kembali dalam praksis pendidikan. Tanpa dimensi ini, guru hanya akan
menjadi operator sistem, bukan penuntun peradaban.
Langkah
ketiga adalah penguatan budaya literasi kritis di seluruh jenjang pendidikan.
Budaya membaca dan menulis perlu dikembangkan bukan hanya untuk memperoleh
informasi, tetapi untuk membangun kesadaran reflektif terhadap realitas sosial.
Literasi yang sejati bukan sekadar keterampilan akademik, tetapi cara berpikir
dan cara hidup (way of being). Paulo Freire menegaskan bahwa membaca
dunia lebih penting daripada sekadar membaca kata-kata. Artinya, pendidikan
harus mendorong murid untuk memahami struktur sosial yang menindas dan berani
berpikir kritis terhadapnya.
Dengan
menggabungkan nilai kejujuran, jiwa guru, dan literasi kritis, pendidikan
Indonesia memiliki peluang besar untuk keluar dari krisis spiritual yang
membelenggunya. Krisis pendidikan yang kita hadapi bukan hanya persoalan
teknis, tetapi problem moral dan kultural yang menggerogoti akar kemanusiaan.
Hilangnya budaya literasi hanyalah gejala dari penyakit yang lebih dalam:
ketidakjujuran, kehilangan ruh guru, dan pergeseran orientasi pendidikan dari
pengabdian menjadi profesi. Guru sejati bukanlah mereka yang bergaji besar,
melainkan yang dengan keikhlasan menuntun murid menuju kemanusiaan yang utuh.
Tanpa kejujuran dan ketulusan, pendidikan hanya menjadi pabrik ijazah yang
kehilangan makna sosial dan spiritual.
Membangun
Indonesia Emas 2045 tidak dapat dimulai dari angka, anggaran, atau kebijakan
administratif semata. Pembangunan pendidikan harus dimulai dari hati: dari
upaya membangun kejujuran, menumbuhkan jiwa guru, dan menghidupkan kembali etos
keilmuan berbasis nilai moral. Negara perlu menjadikan pendidikan sebagai
proyek peradaban, bukan sekadar program politik. Ketika guru kembali mengajar
dengan cinta dan murid belajar dengan kejujuran, maka ruh pendidikan Indonesia
akan lahir kembali. Di saat itulah, visi Indonesia Emas bukan hanya cita-cita
ekonomi, tetapi kenyataan moral yang hidup di setiap ruang kelas.
Kontributor
Akang
Marta
Indramayutradisi