Ads

Pendidikan yang Menindas: Ketika Sekolah Tak Lagi Membebaskan

 

Pendidikan yang Menindas: Ketika Sekolah Tak Lagi Membebaskan



Dalam budaya kita, guru selalu digelari pahlawan tanpa tanda jasa. Gelar itu terdengar mulia, namun di lapangan banyak guru hidup dalam paradoks yang memilukan. Mereka dituntut menjadi pembentuk moral bangsa, tetapi sering diperlakukan tanpa penghargaan yang layak — baik secara ekonomi maupun sosial. Realitas ini menempatkan guru dalam posisi sulit antara idealisme dan kebutuhan hidup. Mereka diharapkan membangun karakter bangsa, padahal kesejahteraan pribadi mereka sendiri masih jauh dari sejahtera.

Data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menunjukkan bahwa rata-rata gaji guru honorer di Indonesia masih di bawah Rp1 juta per bulan di banyak daerah. Angka ini tentu tidak sebanding dengan tanggung jawab besar yang mereka emban dalam membentuk generasi masa depan. Banyak di antara mereka terpaksa bekerja ganda — menjadi ojek, berdagang kecil, atau mencari pekerjaan sampingan lainnya. Tidak sedikit yang berhutang hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari. Kondisi ini menandakan bahwa penghormatan terhadap guru belum diwujudkan dalam bentuk nyata.

Bagaimana mungkin seorang guru mampu menyalakan semangat belajar jika setiap hari ia sendiri harus berjuang melawan keputusasaan? Semangat mendidik sulit tumbuh di tengah tekanan ekonomi yang mencekik. Guru yang lelah secara fisik dan mental akan kesulitan menyalurkan energi positif kepada murid-muridnya. Situasi ini menciptakan lingkaran lemah dalam sistem pendidikan: guru yang tidak berdaya akan melahirkan peserta didik yang kehilangan inspirasi. Jika keadaan ini dibiarkan, maka pendidikan hanya akan menjadi ritual tanpa ruh.

Padahal, seperti diungkapkan Nurcholish Madjid, guru bukan sekadar profesi fungsional, melainkan panggilan moral dan spiritual. “Pendidikan adalah amal saleh yang paling tinggi nilainya,” tulisnya, “karena ia membentuk manusia menjadi khalifah yang sadar akan tugas kemanusiaannya.” Pandangan ini menegaskan bahwa menjadi guru adalah bentuk pengabdian kepada nilai-nilai kemanusiaan, bukan sekadar pencarian nafkah. Guru yang bekerja dengan kesadaran spiritual akan menanamkan nilai kehidupan, bukan hanya pengetahuan teknis. Namun untuk mencapai itu, kesejahteraan mereka harus dijamin agar tidak kehilangan martabatnya.

Namun ketika profesi guru direduksi menjadi sekadar pekerjaan administratif, maka panggilan itu perlahan mati. Mereka disibukkan dengan tumpukan formulir, laporan, dan target kinerja yang kaku. Kreativitas dan empati tergantikan oleh rutinitas birokratis yang menumpulkan nurani. Akibatnya, guru tidak lagi memiliki ruang untuk mendidik dengan hati dan membimbing dengan kasih. Ketika hal ini terjadi, pendidikan kehilangan arah, dan bangsa kehilangan sumber moral yang paling berharga.

Kontributor

Akang Marta

Indramayutradisi

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel