Hukum Kearsipan: Menjaga Integritas Dokumen Publik dan Transparansi Pemerintahan
Hukum Kearsipan: Menjaga Integritas Dokumen Publik dan Transparansi Pemerintahan
Pendahuluan
Arsip adalah tulang punggung ingatan sebuah bangsa. Di balik selembar kertas, tersimpan legitimasi sejarah, bukti hukum, dan dasar akuntabilitas publik. Hukum kearsipan tidak hanya mengatur tentang bagaimana dokumen disimpan, tetapi juga menentukan bagaimana negara mempertanggungjawabkan seluruh proses administratif dan kebijakan publiknya. Dalam konteks Indonesia, isu kearsipan kembali mencuat melalui perdebatan mengenai keberadaan dan keaslian dokumen akademik Presiden Joko Widodo. Di balik polemik itu, tersingkap persoalan yang jauh lebih mendasar: sejauh mana negara memahami dan menjalankan tanggung jawab hukum terhadap arsip publik.
Landasan Hukum Kearsipan di Indonesia
Indonesia telah memiliki perangkat hukum yang cukup kuat dalam bidang kearsipan. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan menjadi payung utama yang mengatur penyelenggaraan, pengelolaan, dan pelindungan arsip negara. Undang-undang ini menegaskan bahwa setiap lembaga negara, pemerintah daerah, BUMN, maupun lembaga pendidikan wajib mengelola arsip sesuai prinsip akuntabilitas, keaslian, keutuhan, dan keamanan.
Pasal 8 UU tersebut menjelaskan bahwa arsip dinamis—dokumen yang digunakan langsung dalam kegiatan administrasi—harus dikelola dengan sistem yang menjamin ketertelusuran dan keamanannya. Setelah tidak lagi digunakan secara aktif, arsip harus diserahkan kepada lembaga kearsipan seperti Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) atau Lembaga Kearsipan Daerah (LKD). Pelanggaran terhadap kewajiban ini tidak ringan: sanksi pidana dapat mencapai 10 tahun penjara atau denda ratusan juta rupiah, sebagaimana diatur dalam Pasal 86 dan 87 UU Kearsipan.
Dengan demikian, hukum kearsipan bukan sekadar prosedur administratif, melainkan mekanisme perlindungan terhadap kebenaran data dan memori publik bangsa.
Kearsipan dan Transparansi Publik
Hubungan antara hukum kearsipan dan keterbukaan informasi publik sangat erat. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) menjamin hak warga negara untuk memperoleh informasi, termasuk dokumen publik yang dikelola oleh lembaga negara. Namun, hak ini baru dapat dijalankan jika arsip yang diminta tersedia, terkelola, dan dapat ditelusuri dengan benar.
Kasus peneliti publik Bonatua Silalahi, yang mengajukan permintaan salinan ijazah Presiden Jokowi kepada beberapa lembaga negara, memperlihatkan bagaimana dua rezim hukum ini saling berkaitan. Dalam wawancaranya, ia menyebut bahwa tanpa sistem kearsipan yang benar, hak keterbukaan informasi publik menjadi lumpuh. Beberapa lembaga menolak memberikan salinan arsip dengan alasan privasi, sementara lembaga kearsipan nasional menyatakan tidak memiliki dokumen tersebut. Fakta ini menunjukkan adanya celah serius dalam sistem pengarsipan dokumen publik di Indonesia.
Kearsipan Sebagai Instrumen Akuntabilitas
Hukum kearsipan bukan hanya menjamin keamanan arsip, tetapi juga menjadi instrumen pengawasan publik terhadap penyelenggara negara. Setiap dokumen yang dihasilkan oleh pejabat publik—termasuk dokumen pencalonan, ijazah, surat keputusan, dan laporan pertanggungjawaban—merupakan arsip negara yang wajib disimpan dan dipelihara. Ketika arsip hilang atau tidak ditemukan, bukan hanya persoalan teknis yang muncul, melainkan juga krisis kepercayaan publik terhadap integritas lembaga negara.
Sebagai contoh, di Jerman dan Hongaria, sejumlah pejabat tinggi negara mengundurkan diri karena terbukti melakukan pelanggaran akademik seperti plagiarisme dalam disertasi. Kasus-kasus tersebut dapat diungkap karena sistem kearsipan dan publikasi ilmiah di negara maju bekerja secara transparan dan terintegrasi. Arsip akademik dan administratif disimpan dengan mekanisme yang memungkinkan publik memverifikasi keasliannya secara terbuka.
Bandingkan dengan situasi di Indonesia, di mana arsip akademik seorang pejabat publik justru menjadi perdebatan panjang akibat lemahnya manajemen dokumen. Kelemahan dalam pengarsipan dapat berimplikasi luas: dari potensi penyalahgunaan wewenang hingga delegitimasi proses politik.
Tantangan dan Reformasi Sistem Kearsipan
Dalam era digital, tantangan kearsipan bukan lagi hanya pada penyimpanan fisik, melainkan pada pengelolaan arsip elektronik. UU Kearsipan menuntut adanya sistem digital yang menjamin keaslian dan keamanan data. Namun, infrastruktur dan sumber daya manusia di banyak lembaga publik masih terbatas. Banyak dokumen penting yang belum terdigitalisasi atau tersimpan tanpa metadata yang jelas, sehingga sulit diakses ketika dibutuhkan.
Selain itu, perlu ada sinkronisasi antara Undang-Undang Kearsipan dan UU KIP, agar tidak terjadi tumpang tindih dalam pelaksanaan. Lembaga-lembaga publik perlu memahami bahwa alasan “privasi” tidak bisa digunakan untuk menolak permohonan arsip yang secara hukum dikategorikan sebagai dokumen publik. Prinsipnya sederhana: yang dibiayai oleh negara adalah milik publik, kecuali jika menyangkut rahasia negara, pertahanan, atau keselamatan nasional.
Penegakan Hukum Kearsipan
Penegakan hukum di bidang kearsipan masih jarang dilakukan. Padahal, pelanggaran terhadap kewajiban pengelolaan arsip memiliki dampak besar terhadap tata kelola pemerintahan. Ketika lembaga publik gagal menyerahkan arsip kepada ANRI atau LKD sesuai masa retensi, hal itu dapat dikategorikan sebagai kelalaian administratif berat atau bahkan tindak pidana kearsipan.
Kasus yang mencuat dalam konteks permintaan arsip ijazah presiden menjadi contoh nyata bahwa perlu ada mekanisme hukum yang lebih tegas. Tidak tersimpannya arsip yang seharusnya diserahkan ke lembaga kearsipan merupakan pelanggaran terhadap UU 43/2009, dan dapat menjerat pejabat terkait dengan ancaman pidana maksimal 10 tahun.
Lebih dari sekadar hukuman, penegakan hukum kearsipan seharusnya menjadi pintu masuk reformasi tata kelola dokumen publik, agar setiap informasi yang dihasilkan oleh negara benar-benar menjadi milik rakyat.
Penutup
Hukum kearsipan merupakan fondasi bagi pemerintahan yang transparan, akuntabel, dan berkeadilan. Tanpa arsip yang terpelihara dengan baik, negara akan kehilangan ingatannya sendiri. Polemik yang melibatkan dokumen publik seperti ijazah pejabat negara seharusnya menjadi momentum untuk memperkuat sistem kearsipan nasional, bukan sekadar bahan perdebatan politik.
Negara yang besar adalah negara yang mampu menjaga arsipnya dengan jujur. Sebab di dalam setiap lembar arsip, tersimpan bukti kejujuran sejarah, tanggung jawab hukum, dan hak publik untuk tahu.