Ads

Pendidikan Tanpa Jiwa: Krisis Kejujuran dan Hilangnya Ruh Guru di Indonesia

 

Pendidikan Tanpa Jiwa: Krisis Kejujuran dan Hilangnya Ruh Guru di Indonesia



Pernyataan sederhana “kami tidak punya budaya literasi” yang terlontar dari seorang responden dalam diskusi publik sesungguhnya mencerminkan wajah buram pendidikan Indonesia. Ungkapan itu bukan sekadar keluhan tentang minimnya kebiasaan membaca buku, tetapi juga refleksi dari kondisi sosial di mana pengetahuan belum menjadi bagian dari kebudayaan. Literasi tidak hanya berarti kemampuan membaca teks, melainkan juga kemampuan memahami realitas dan menghubungkannya dengan kehidupan. Paulo Freire (1970) dalam Pedagogy of the Oppressed menegaskan bahwa literasi sejati adalah kesadaran kritis terhadap dunia. Oleh karena itu, rendahnya budaya literasi menandakan lemahnya kemampuan bangsa untuk membaca diri sendiri dan zamannya.

Pendidikan Indonesia kini menghadapi paradoks besar yang mengkhawatirkan. Program reformasi, sertifikasi guru, hingga peningkatan anggaran terus dilakukan, tetapi kualitas pendidikan tidak menunjukkan kemajuan yang signifikan. Hasil Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2022 menunjukkan kemampuan literasi siswa Indonesia masih berada di bawah rata-rata negara OECD. Bahkan, Indeks Pembangunan Pendidikan UNESCO masih menempatkan Indonesia dalam kategori menengah ke bawah. Kondisi ini memperlihatkan bahwa pendidikan kita terlalu administratif dan teknokratis, tetapi miskin dimensi moral serta kemanusiaan.

Tulisan ini berupaya menelusuri akar dari problem pendidikan tersebut melalui perspektif moral dan kultural. Arah pembahasan berangkat dari kisah nyata seorang guru yang mempermalukan muridnya di ruang kelas, yang menjadi simbol lunturnya nilai kemanusiaan dalam pendidikan. Fenomena ini memperlihatkan adanya krisis jiwa di kalangan pendidik yang seharusnya menjadi teladan moral. Dalam konteks tersebut, ketidakjujuran dan hilangnya semangat pengabdian menjadi dua sisi dari mata uang yang sama. Karena itu, pembenahan pendidikan tidak cukup dilakukan melalui kebijakan teknis, tetapi juga dengan menumbuhkan kembali jiwa kejujuran dan pengabdian guru.

Kontributor

Akang Marta

Indramayutradisi

 

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel