Ads

Trust dan Kejujuran: Fondasi yang Hilang

 

Trust dan Kejujuran: Fondasi yang Hilang



Di Malaysia dan Singapura, banyak lulusan Indonesia bekerja di sektor teknologi dan kesehatan. Namun, ironisnya, produk dengan label “made in Indonesia” masih sering diragukan kualitasnya. Masalah utamanya bukan pada kemampuan teknis, melainkan krisis kepercayaan (trust) yang mengakar dalam budaya kita. Di Finlandia, selama 25 tahun terakhir, pendidikan dibangun di atas fondasi kejujuran dan tanggung jawab moral. Hasilnya, masyarakatnya tumbuh dalam jaringan kepercayaan sosial yang kuat.

Sementara di Indonesia, kejujuran masih menjadi barang langka yang sulit ditemukan dalam praktik pendidikan. Almarhum Ahmad Tafsir, seorang profesor pendidikan Islam, pernah menyampaikan kalimat yang menggugah: “Kalau kita tidak punya sains dan teknologi, kita masih bisa beli. Tapi kalau kita tidak punya akhlak, belinya di mana?” Ucapan itu bukan sekadar kritik, tetapi cermin bagi bangsa yang kehilangan arah moralnya. Ia mengingatkan bahwa pendidikan tanpa akhlak hanyalah wadah kosong tanpa nilai.

Pernyataan tersebut adalah refleksi terdalam dari seluruh krisis pendidikan kita hari ini. Indonesia tidak kekurangan orang pintar, tetapi kekurangan orang jujur. Kita memiliki banyak ahli di berbagai bidang, namun hanya sedikit yang benar-benar amanah. Padahal, dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, tujuan pendidikan disebutkan secara tegas: membentuk manusia beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia. Sayangnya, cita-cita luhur itu sering berhenti sebagai slogan di atas kertas kebijakan, bukan menjadi ruh yang hidup dalam praktik pendidikan sehari-hari.

Kontributor

Akang Marta

Indramayutradisi

 

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel