Madrasah dan Pesantren: Pilar yang Bertahan
Madrasah dan Pesantren: Pilar yang Bertahan
Dalam
kekacauan sistem pendidikan nasional, justru madrasah dan pesantren yang
bertahan paling kukuh menjaga ruh pendidikan. Sekitar 90% madrasah dan hampir
100% pesantren di Indonesia berdiri atas swadaya masyarakat tanpa bergantung
pada bantuan pemerintah. Fakta ini menunjukkan bahwa kekuatan pendidikan
Indonesia sesungguhnya terletak pada partisipasi rakyat yang tidak menunggu
negara untuk mendidik anak-anaknya. Masyarakat masih memegang tanggung jawab
moral untuk mencerdaskan generasi penerus secara mandiri. Nilai kemandirian
inilah yang menjadi warisan sosial dan spiritual bangsa sejak masa awal
kemerdekaan.
Pesantren
tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan, tetapi juga membentuk karakter moral
dan kesederhanaan hidup. Di dalamnya, para santri diajarkan disiplin, tanggung
jawab sosial, dan penghormatan kepada guru serta orang tua. Nilai-nilai itu
kini menjadi sesuatu yang semakin langka di sekolah formal yang terlalu
berorientasi pada capaian akademik. Pesantren menempatkan adab di atas ilmu,
sebagaimana nasihat klasik para ulama: “Barang siapa menuntut ilmu tanpa adab,
maka ilmunya tidak akan membawa berkah.” Dari sinilah pendidikan berbasis hati
dan keikhlasan terus hidup meski tanpa fasilitas mewah.
Banyak
tokoh pendidikan berpendapat bahwa pemerintah seharusnya memberi ruang lebih
besar bagi masyarakat untuk mengelola proses pendidikan. Negara cukup
menetapkan standar mutu lulusan, tanpa terlalu mencampuri teknis pengajaran di
ruang kelas. Madrasah dan pesantren telah membuktikan bahwa pendidikan berbasis
nilai dan kepercayaan lebih berkelanjutan dibandingkan model birokratis yang
kaku. Ketika masyarakat dipercaya, mereka akan membangun sekolah dengan hati
dan semangat gotong royong. Dengan demikian, pendidikan Indonesia akan kembali
berakar pada jati dirinya: pendidikan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk
kemanusiaan.
Kontributor
Akang
Marta
Indramayutradisi