Chilling Effect dan Implikasi ITE: Ancaman Kriminalisasi terhadap Jurnalis Lokal dalam Peliputan Transparansi
Chilling Effect dan Implikasi ITE: Ancaman Kriminalisasi terhadap Jurnalis Lokal dalam Peliputan Transparansi
Paradoks hukum mewarnai implementasi tata kelola pemerintahan di Indonesia: di satu sisi, Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) menuntut transparansi, sementara di sisi lain, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sering digunakan sebagai instrumen kriminalisasi terhadap pihak yang menguji transparansi tersebut. Opini akademik ini menganalisis dampak chilling effect dari penerapan UU ITE, khususnya Pasal 27A (pencemaran nama baik) dan Pasal 32/35 (manipulasi data), terhadap jurnalis dan media lokal yang bertugas mengawasi kinerja Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) dan kepatuhan Badan Publik.
Jurnalis Lokal sebagai Target Utama
Jurnalis lokal berada dalam posisi yang sangat rentan. Kedekatan geografis mereka dengan kekuasaan lokal (kepala daerah dan birokrat) membuat mereka menjadi sasaran empuk ketika meliput isu-isu sensitif yang terkait dengan keuangan daerah atau kegagalan PPID.
1. Mekanisme Kriminalisasi Defamasi
Pasal 27A (Pencemaran Nama Baik): Pasal ini sering digunakan untuk menyerang jurnalis yang mengungkap fakta atau melayangkan kritik atas dugaan penyimpangan. Ketika seorang jurnalis mempertanyakan kebenaran informasi yang diberikan PPID atau mengungkap inefisiensi anggaran, penguasa lokal dapat mengklaim adanya pencemaran nama baik melalui platform elektronik.
Gagalnya Perlindungan UU Pers: Dalam banyak kasus, penegak hukum cenderung mengabaikan Undang-Undang Pers (UU No. 40 Tahun 1999) yang seharusnya memberikan perlindungan bagi karya jurnalistik dan mewajibkan penyelesaian sengketa melalui Dewan Pers terlebih dahulu. Kegagalan ini menciptakan dualisme hukum yang merugikan jurnalis dan memungkinkan kriminalisasi cepat dengan menggunakan pasal ITE yang ancaman hukumannya lebih berat.
2. Ancaman Data Manipulation (Pasal 32/35)
Meskipun Pasal 32 (mengubah/menghilangkan IE/DE) dan Pasal 35 (memanipulasi IE/DE seolah otentik) seharusnya melindungi integritas sistem elektronik, penafsiran yang keliru dapat digunakan untuk menyerang jurnalis investigasi:
Interpretasi Keliru: Jika seorang jurnalis menggunakan dokumen elektronik yang diperoleh dari PPID (atau sumber lain) dan melakukan analisis, anotasi, atau visualisasi data untuk memperkuat laporannya, Badan Publik yang merasa dirugikan dapat secara keliru menuduh jurnalis tersebut memanipulasi informasi elektronik.
Implikasi Kasus Ijazah: Kasus sengketa ijazah menunjukkan betapa mudahnya pasal-pasal ini ditarik dari konteks aslinya (melindungi sistem dan properti) untuk menyerang kritik (analisis dokumen yang beredar di publik), menciptakan preseden buruk bagi jurnalis yang melakukan analisis forensik terhadap dokumen publik.
Dampak Negatif UU ITE pada Implementasi UU KIP
Ancaman kriminalisasi ini memiliki dampak sistemik yang merusak tujuan fundamental UU KIP:
Self-Censorship Jurnalis: Ancaman sanksi pidana yang berat (hingga belasan tahun penjara) memicu sensor diri (self-censorship) di kalangan jurnalis lokal. Media menjadi enggan untuk meliput kegagalan PPID, menuntut detail anggaran, atau menguji validitas dokumen publik.
Penguatan Cultural Security: Ketakutan media memungkinkan birokrasi lokal untuk mempertahankan budaya ketertutupan (cultural security). Kepala daerah menyadari bahwa menolak permintaan informasi publik atau bertindak defensif tidak akan ditindaklanjuti secara serius oleh pers, sehingga tingkat kepatuhan terhadap UU KIP tetap rendah.
Stagnasi IKIP: Lingkungan media yang terintimidasi berkontribusi pada stagnasi atau rendahnya Indeks Keterbukaan Informasi Publik (IKIP), karena salah satu komponen terpenting social control (yaitu media) telah dinetralkan.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Penerapan UU ITE terhadap jurnalisme lokal adalah kontradiksi hukum yang menghambat demokrasi. Keberadaan UU ITE yang bersifat "pasal karet" memungkinkan penguasa lokal untuk merespons kritik dengan upaya pidana, alih-alih dengan perbaikan kinerja transparansi sebagaimana diamanatkan oleh UU KIP.
Untuk menjamin efektivitas UU KIP dan memulihkan peran watchdog media, penegak hukum harus:
Menganut asas keutamaan UU Pers dalam setiap sengketa yang melibatkan produk jurnalistik.
Mengembangkan pedoman teknis yang jelas untuk aparat penegak hukum agar tidak menggunakan Pasal 32 dan 35 UU ITE untuk memidana analisis data atau kritik, melainkan hanya untuk kejahatan siber yang merusak sistem elektronik atau data properti.
