Ads

Rasionalitas Manusia: Dari Hubungan Parasosial hingga Batas Kognitif dan Evolusi Peradaban

 

Rasionalitas Manusia: Dari Hubungan Parasosial hingga Batas Kognitif dan Evolusi Peradaban

Penulis: Akang Marta



1.      Disonansi Hubungan Sosial: Memarahi yang Dekat, Membela yang Jauh dalam Perspektif Gangguan Parasosial

Ryu Hasan menyoroti sebuah fenomena psikologis yang tampak sepele namun sebenarnya menunjukkan disonansi perilaku yang mendalam:   Marahin orang yang kita kenal, belain orang yang tidak kita kenal.   Pola ini menggambarkan inti dari apa yang ia sebut sebagai Gangguan Hubungan Parasosial atau Parasocial Relationship Disorder  kondisi ketika seseorang memberikan investasi emosional secara tidak proporsional pada figur yang bahkan tidak memiliki hubungan timbal balik dengannya. Fenomena ini relevan dalam lanskap media modern di mana persona publik, selebritas, dan tokoh fiktif hadir melalui narasi yang dikurasi dan dipoles secara estetis.

Untuk memahami fenomena ini, kita harus membedakan mekanisme kognitif antara hubungan nyata dan hubungan parasosial, khususnya melalui konsep falsifikasi dan verifikasi dalam interaksi manusia. Pada hubungan nyata  seperti keluarga, pasangan, atau teman  kita berhadapan dengan aliran data empiris yang kaya, beragam, dan sering kali kontradiktif. Orang yang kita kenal menunjukkan kelemahan, inkonsistensi, bahkan perilaku yang tidak menyenangkan. Semua ini memberikan ruang bagi falsifikasi: klaim tentang   kebaikan,     kesempurnaan,   atau   idealitas   seseorang mudah dipatahkan melalui pengalaman langsung. Ketika ekspektasi kita gagal diverifikasi oleh realitas, respons emosional seperti kemarahan muncul sebagai konsekuensi kognitif yang wajar.

Sebaliknya, hubungan parasosial beroperasi dalam domain abstraksi yang dikonstruksi oleh media. Figur seperti selebritas, influencer, atau idola K-pop  misalnya Jimin  dihadapkan kepada publik melalui fragmen persona yang sangat terkurasi. Informasi yang tersedia minim, selektif, dan cenderung positif. Karena tidak ada interaksi dua arah, tidak ada data empiris yang cukup untuk melakukan falsifikasi. Akibatnya, model mental yang terbentuk adalah persona ideal yang tidak pernah dipatahkan kenyataan. Figur ini hidup dalam ruang kognitif yang steril dari kontradiksi sehingga lebih mudah dikagumi dan dibela.

Secara kognitif, perilaku membela orang yang tidak dikenal mencerminkan preferensi terhadap model abstrak yang sederhana dan tidak teruji, daripada menghadapi kompleksitas empiris dari hubungan nyata. Ini menunjukkan kecenderungan untuk menghindari ambiguitas dan ketidakpastian yang melekat dalam relasi sosial langsung. Ketika seseorang lebih nyaman dengan tokoh ideal yang tak pernah salah daripada dengan manusia nyata yang penuh nuansa, hal ini menandakan kegagalan pelatihan kognitif untuk menghargai kerumitan data empiris dan nilai falsifikasi.

Dalam perspektif psikologi modern, fenomena ini bukan sekadar masalah emosional, tetapi indikasi disfungsi kognitif yang terbentuk oleh eksposur media, kurangnya literasi emosional, serta ketidakmampuan mengelola kompleksitas dalam hubungan interpersonal.

2.      Kekuatan Latihan Kognitif: Mengatasi Batasan IQ Melalui Empirisme Terstruktur

Isu sentral dalam pembangunan kognisi adalah peran dominan latihan di atas bakat bawaan. Metafora musisi gitar yang rajin berlatih (8 jam sehari) menggarisbawahi tesis ini: keahlian dan kecerdasan adalah hasil dari Empirisme Terstruktur yang disengaja.

Latihan vs. Bakat: Latihan berfungsi sebagai aplikasi ketat dari empirisme: mendapatkan data, mengidentifikasi pola melalui abstraksi, dan secara sistematis memperbaiki tindakan. Ini adalah faktor utama yang mengembangkan Kecerdasan Kristal (Gc) pengetahuan terakumulasi dan keahlian yang dapat ditingkatkan secara signifikan melalui praktik yang konsisten. Implikasi pedagogisnya optimis: mengingat mayoritas populasi berada dalam rentang tengah kognitif (diasumsikan $68\%$ dalam $1\sigma$), sebagian besar orang memiliki kapasitas laten yang dapat dilatih untuk berpikir kritis, abstrak, dan berempati.

Keterbatasan IQ dan Rasionalitas: Dialog ini juga mengangkat isu sensitif mengenai batas kognitif yang realistis, seperti klaim bahwa topik kompleks (misalnya, mekanika kuantum) membutuhkan IQ di atas 135$. Mengakui adanya batasan (misalnya, melalui skor Kecerdasan Cair Gf) adalah tindakan yang rasional, menentang narasi   tidak ada yang tidak mungkin  Gf yang tinggi mungkin memang diperlukan untuk melakukan penelitian terdepan dan memecahkan masalah abstrak yang baru.

Namun, pengakuan batas ini harus mengarah pada pengalokasian sumber daya kognitif yang tepat, bukan pembatasan akses pendidikan. Kecerdasan yang dapat ditingkatkan (Gc) harus menjadi fokus utama, memastikan bahwa semua siswa menerima pelatihan yang intensif dan realistis. Pendidikan harus memfokuskan latihan pada keahlian yang dapat dikuasai, sambil tetap membuka pintu bagi pengembangan Gf yang diperlukan untuk sains tingkat lanjut. Peningkatan kognisi kolektif akan tercapai melalui pedagogi berbasis latihan yang memaksimalkan potensi mayoritas.

3.      Kontras Eksistensial: Mengapa Abstraksi dan Empirisme Esensial bagi Kemajuan Peradaban

Metafora kambing yang tidak peduli dengan empirisme dan abstraksi menyajikan kontras eksistensial yang mendalam mengenai nilai kognisi tingkat tinggi.

Secara ontologis, kambing dapat bertahan hidup (survival) tanpa penalaran abstrak dan pengujian empiris. Ini membuktikan bahwa mekanisme kognitif tersebut tidak esensial untuk kelangsungan hidup biologis sederhana. Namun, kambing tidak dapat membuat telepon seluler atau kendaraan listrik.

Di sinilah letak nilai epistemologis dan fungsionalisme peradaban. Abstraksi dan empirisme bukan tentang kehidupan itu sendiri, melainkan prasyarat mutlak bagi kemajuan, pengetahuan, dan teknologi. Kemampuan peradaban untuk berinovasi  seperti memikirkan skenario kambing membuat handphone  adalah contoh abstraksi kreatif yang luar biasa.

Ironisnya, abstraksi kreatif ini hanya mungkin dilakukan oleh akal yang telah dilatih secara ketat untuk menguasai batasan realitas yang ditetapkan oleh empirisme dan logika. Akal harus terlebih dahulu tahu apa yang mungkin dan tidak mungkin secara empiris, sebelum dapat memanipulasi batasan tersebut secara kreatif.

Oleh karena itu, jika suatu masyarakat bercita-cita untuk mencapai kemajuan dan teknologi (keluar dari status   kambing   ke status peradaban inovatif), investasi dalam pelatihan kognitif yang memprioritaskan siklus ketat empirisme (bukti) dan abstraksi (teori) adalah kebutuhan yang tidak dapat dinegosiasikan.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel