Dilema Rasionalitas, Utilitas, dan Azas Anna Karenina dalam Pembangunan Kognitif
Dilema
Rasionalitas, Utilitas, dan Azas Anna Karenina dalam Pembangunan Kognitif
Penulis: Akang Marta
Pertanyaan etis dan kebijakan yang paling sulit: Pilihan mendasar yang membatasi kemajuan kognitif yakni,
antara rasionalitas/kecerdasan dan iman/spiritualitas,
serta antara kemiskinan dan kebahagiaan.
Analisis ini berfokus pada konflik antara utilitas kognitif
(kecerdasan untuk kemajuan) dan utilitas spiritual
(kenyamanan iman), serta membongkar dikotomi palsu dalam kebahagiaan.
1. Rasionalitas, Iman, dan Biaya Kognitif: Menimbang
Pilihan Peradaban Modern
Pertanyaan mendasar Mau apa
enggak? bukan sekadar pertanyaan retoris, melainkan
uji kebijakan yang menentukan arah perkembangan suatu masyarakat. Pertanyaan
ini menuntut kesiapan kolektif untuk membayar harga kognitif yaitu kesediaan melatih rasionalitas,
berpikir empiris, dan mengasah abstraksi
demi mencapai kemajuan material dan intelektual. Dalam konteks sosial
yang masih memandang nilai spiritual sebagai sesuatu yang suci dan tak
tergantikan, upaya memperkuat rasionalitas sering dianggap bertentangan dengan
keimanan. Padahal, ketegangan tersebut sebagian besar lahir dari kesalahpahaman
epistemologis.
Ryu Hasan mengartikulasikan iman sebagai yakin tanpa minta bukti, sebuah
definisi yang menempatkan iman dalam kategori utilitas kognitif non-empiris.
Sebagai sumber ketenangan, iman memberikan Utilitas Spiritual yang signifikan.
Ia menawarkan penyederhanaan terhadap kecemasan eksistensial, memberikan
struktur makna, dan mengurangi kompleksitas realitas yang sering kali membebani
pikiran manusia. Karena itu, iman memiliki fungsi adaptif yang dapat menopang
kesehatan psikologis masyarakat.
Namun, iman secara epistemologis tetap
berlawanan dengan rasionalitas, sebab ia menolak proses verifikasi empiris
maupun falsifikasi. Mekanisme kerja iman dapat diringkas sebagai:
IMAN →
TENANG → MENGABAIKAN BUKTI.
Dalam kerangka ini, ketenangan muncul bukan karena kebenaran terbukti,
melainkan karena ketidakpastian diabaikan.
Konflik muncul ketika sebagian orang mengajukan
dikotomi palsu: Percuma
pintar-pintar kalau tidak beriman. Pernyataan tersebut memaksa masyarakat memilih
satu dari dua hal yang sejatinya tidak saling meniadakan. Kemampuan kognitif
tinggi (Utilitas Kognitif) dan keyakinan spiritual (Utilitas Spiritual) dapat
hidup berdampingan tanpa harus saling mendeligitimasi.
Secara kebijakan, pertanyaan utamanya adalah: Apakah
masyarakat siap berinvestasi pada peningkatan rasionalitas meskipun membutuhkan
latihan intelektual yang berat? Jika jawabannya ya, maka Utilitas Kognitif menjadi prioritas untuk
mendorong kemajuan peradaban, sementara Utilitas Spiritual tetap dipertahankan
tanpa menghambat proses berpikir kritis. Dengan demikian, masyarakat dapat
menikmati ketenangan batin sekaligus kemajuan teknologi tanpa harus mengorbankan salah satunya.
2. Menimbang Rasionalitas Kebahagiaan: Membongkar
Dikotomi Palsu antara Kemiskinan dan Kebahagiaan
Dialog ini bergerak
ke wilayah ekonomi-sosial dengan membongkar mitos lama yang sering direproduksi
dalam wacana publik: bahwa kebahagiaan dan kemiskinan memiliki hubungan yang
inheren atau saling meniadakan. Dengan merujuk pada Azas Anna Karenina
yang dipopulerkan Leo Tolstoy, analisis ini menekankan bahwa kebahagiaan
cenderung homogen sementara ketidakbahagiaan muncul dari variabel-variabel yang
beragam. Prinsip tersebut, ketika dipindahkan ke dalam konteks ekonomi,
menunjukkan bahwa keluarga yang sejahtera umumnya memiliki ciri yang serupa stabilitas finansial, relasi yang baik, dan
terpenuhinya kebutuhan dasar sedangkan
keluarga miskin menghadapi ragam persoalan yang kompleks. Ryu Hasan kemudian
memetakan bahwa sumber daya finansial bukan sekadar utilitas material, tetapi
fondasi yang memungkinkan terciptanya kesejahteraan psikologis dan sosial.
Bukti empiris dari negara-negara Nordik mendukung hubungan ini antara
kemakmuran, stabilitas, dan indeks kebahagiaan yang tinggi.
Selanjutnya,
analisis ini menolak dikotomi palsu yang sering muncul dalam slogan seperti miskin tapi bahagia atau kaya tapi menderita. Dikotomi semacam itu menyederhanakan persoalan
secara tidak rasional dan kerap dijadikan pembenaran atas ketidakmampuan
struktural maupun individual. Kebahagiaan adalah variabel multidimensional yang
tidak dapat dikurung dalam oposisi biner. Kekayaan berperan sebagai mediator
yang mengurangi ketidakpastian hidup seperti
kecemasan tentang kebutuhan dasar sehingga
menciptakan ruang kognitif untuk kebahagiaan yang lebih stabil. Individu dengan
pelatihan berpikir rasional akan mampu melihat bahwa pilihan optimal bukanlah
memilih salah satu, melainkan mengusahakan keduanya: sejahtera dan bahagia,
cerdas sekaligus beriman. Peningkatan kapasitas kognitif (IQ, empirisme, dan
abstraksi) pada akhirnya menjadi kunci untuk mengelola sumber daya, memecahkan
masalah kompleks, dan meningkatkan peluang kebahagiaan secara rasional.
3. Prioritas Peradaban: Menimbang Utilitas Spiritual
dan Kognitif dalam Arah Kemajuan Nasional
Pertanyaan sederhana
Mau apa enggak? sesungguhnya adalah pertanyaan besar tentang
pilihan peradaban. Ia menuntut masyarakat untuk menentukan prioritas kolektif
dalam menghadapi apa yang dapat disebut sebagai krisis kognitif sebuah kondisi ketika kapasitas berpikir
kritis, kemampuan abstraksi, dan kompetensi empiris belum dianggap sebagai
kebutuhan fundamental pembangunan. Jika bangsa memilih untuk mengutamakan Utilitas
Spiritual secara mutlak, seperti dalam premis ekstrem goblok enggak apa-apa yang penting masuk
surga, maka arah yang ditempuh adalah jalan stagnasi
kognitif. Konsekuensinya bukan hanya rendahnya kapasitas intelektual, tetapi
juga keterpurukan ekonomi, karena sumber daya manusia yang kurang terlatih
dalam rasionalitas dan analisis empiris cenderung tidak mampu menciptakan nilai
tambah. Secara empiris, kondisi ini akan berujung pada kemiskinan struktural
yang berkorelasi dengan ketidakbahagiaan, memperkuat lingkaran masalah sosial.
Sebaliknya, jika
masyarakat memilih Utilitas Kognitif sebagai prioritas pembangunan, maka
strategi yang ditempuh harus serupa dengan model negara-negara Nordik:
peningkatan kualitas pendidikan, penguatan kemampuan rasional, serta pelatihan
abstraksi dan empirisme sebagai fondasi kemajuan. Pilihan ini tidak berarti
menghapus ruang bagi iman; Utilitas Spiritual tetap dipertahankan selama
tidak menghambat proses penalaran kritis. Dengan menaikkan IQ rata-rata dan
kapasitas kognitif masyarakat, sebuah bangsa dapat menciptakan kondisi yang
memungkinkan kesejahteraan baik material
maupun psikologis dicapai secara
kolektif.
Keputusan untuk
meningkatkan kompetensi kognitif bukan sekadar reformasi pendidikan, tetapi
pilihan arah peradaban. Ini adalah keputusan untuk menentang efek negatif Azas
Anna Karenina, di mana banyak faktor dapat membuat sebuah bangsa gagal,
tetapi hanya kombinasi tertentu yakni
rasionalitas, kemakmuran, dan stabilitas spiritual yang membuatnya berhasil. Dengan demikian,
memilih jalan peningkatan kognisi adalah memilih masa depan di mana mayoritas
masyarakat dapat menjadi kaya, bahagia, dan tetap bermakna secara spiritual.
