Komisi Informasi sebagai Perisai Hukum: Pemanfaatan Mekanisme KIP Melawan Kriminalisasi UU ITE
Komisi Informasi sebagai Perisai Hukum: Pemanfaatan Mekanisme KIP Melawan Kriminalisasi UU ITE
Konflik antara hak konstitusional atas informasi (UU KIP) dan ancaman kriminalisasi (UU ITE) menciptakan dilema etika dan hukum bagi jurnalis. Opini akademik ini mengusulkan analisis fungsional terhadap mekanisme sengketa KIP (Mediasi dan Ajudikasi) sebagai potensi perisai institusional yang dapat digunakan jurnalis untuk melawan gugatan pidana ITE yang berakar dari peliputan isu transparansi.
KIP sebagai Filter Prasyarat Sengketa
Komisi Informasi Pusat (KIP) adalah badan quasi-yudisial yang memiliki kompetensi tunggal dalam menentukan apakah suatu informasi wajib dibuka oleh Badan Publik. Proses mediasi dan ajudikasi KIP, meskipun tidak bersifat pidana, dapat berfungsi sebagai filter prasyarat yang menguatkan posisi hukum jurnalis.
1. Bukti Good Faith dan Tidak Adanya Niat Jahat (Actual Malice)
Pasal-pasal ITE, khususnya yang berkaitan dengan pencemaran nama baik (Pasal 27A) dan manipulasi (Pasal 32/35), selalu mempersyaratkan adanya unsur kesengajaan dan niat jahat (actual malice) untuk merugikan atau memalsukan.
Fungsi KIP: Jika seorang jurnalis mengajukan permohonan informasi kepada PPID dan melanjutkan ke sengketa KIP (mediasi/ajudikasi) karena penolakan, hal ini secara substantif membuktikan bahwa jurnalis tersebut telah menggunakan jalur hukum yang sah dan formal untuk mencari kebenaran fakta.
Pembelaan Hukum: Proses KIP menunjukkan adanya itikad baik (good faith) dan tujuan yang sah (mencari informasi publik), yang dapat digunakan di pengadilan pidana ITE untuk menetralkan unsur niat jahat. Jurnalis dapat berargumen bahwa peliputan didasarkan pada penemuan fakta yang diperoleh dari proses ajudikasi publik, bukan berdasarkan fitnah atau rekayasa.
2. Legalitas Sumber Informasi
Dalam proses ajudikasi, KIP akan memaksa Badan Publik untuk membuka dokumen kecuali jika terdapat Uji Konsekuensi yang kuat.
Putusan KIP sebagai Justification: Ketika jurnalis memublikasikan informasi yang diperoleh berdasarkan putusan KIP yang memerintahkan pembukaan, publikasi tersebut memiliki basis legalitas yang kuat. Gugatan ITE yang menargetkan publikasi tersebut dapat dimentahkan karena informasi yang disajikan berasal dari perintah badan peradilan informasi yang berwenang.
Perlindungan terhadap Analisis: Dalam kasus yang melibatkan Pasal 32/35 (manipulasi data), jika analisis jurnalis didasarkan pada dokumen yang telah melalui proses sengketa KIP, hal ini menunjukkan bahwa tujuannya adalah analisis kritis dan akuntabilitas publik, bukan pemalsuan atau hacking.
Batasan dan Kebutuhan Integrasi Institusional
Meskipun KIP menawarkan perisai hukum yang kuat, KIP tidak dapat menghentikan penyelidikan pidana yang sedang berjalan. Oleh karena itu, diperlukan integrasi institusional.
Keterbatasan Yurisdiksi: KIP adalah pengadilan informasi, bukan pengadilan pidana. Polisi dapat tetap memproses laporan pidana ITE.
Kebutuhan Integrasi: Diperlukan Pedoman Bersama antara Komisi Informasi, Polri, dan Kejaksaan Agung yang mewajibkan aparat penegak hukum untuk menghormati dan mempertimbangkan hasil dan putusan proses sengketa KIP. Jika suatu informasi telah dinyatakan terbuka oleh KIP, atau jika pemohon telah melalui proses KIP, hal tersebut harus menjadi faktor mitigasi berat dalam menentukan unsur niat jahat.
Kesimpulan
Pemanfaatan mekanisme KIP (mediasi dan ajudikasi) oleh jurnalis adalah langkah strategis untuk mengubah posisi defensif menjadi ofensif secara hukum. Proses KIP memberikan bukti otentik mengenai itikad baik dan tujuan publik dalam mencari informasi, secara efektif menghilangkan unsur niat jahat yang dipersyaratkan oleh UU ITE. Dengan menguatkan otoritas KIP sebagai penentu kebenaran informasi publik, dan dengan mengharuskan aparat penegak hukum untuk mengakui peran KIP, Indonesia dapat secara bertahap mengurangi chilling effect UU ITE pada kebebasan pers dan memperkuat demokrasi substantif.
