Ads

Transparansi dan Akuntabilitas Institusional: Analisis Implementasi UU KIP dalam Sengketa Informasi Publik

 

Transparansi dan Akuntabilitas Institusional: Analisis Implementasi UU KIP dalam Sengketa Informasi Publik

Penulis: Akang Marta


Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) merupakan landasan yuridis bagi perwujudan good governance di Indonesia, menjamin hak warga negara untuk mengakses informasi publik. Opini ini menganalisis implementasi UU KIP, khususnya dalam konteks sengketa informasi ijazah Presiden Joko Widodo di Komisi Informasi Pusat (KIP), yang menjadi indikator kritis terhadap komitmen institusi negara terhadap transparansi.

Pergeseran Paradigma Keterbukaan Informasi

UU KIP menandai perubahan paradigma fundamental dalam tata kelola informasi pemerintah, bergerak dari model "informasi tertutup" menjadi prinsip "maksimum terbuka".

1. Transformasi Prinsip Keterbukaan

AspekSebelum UU KIPSetelah UU KIP
Status InformasiWacana non-obligasiKetentuan legal mengikat (wajib dipenuhi)
FilosofiSemua informasi tertutup, yang dibuka harus diklasifikasikanSemua informasi terbuka, yang ditutup (dikecualikan) harus diklasifikasikan
Mekanisme PelaksanaTidak terstrukturWajib membentuk Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID)
Tata KelolaFleksibel dan tidak terikat waktuProsedur dan waktu ketat (misalnya 10 hari kerja untuk permohonan)

Perubahan ini secara inheren bertujuan untuk menjadikan informasi publik sebagai instrumen kontrol sosial (social control), yang esensial untuk memantau perilaku pelayan publik, mendorong partisipasi aktif, dan mencegah maladministrasi serta korupsi.

2. Tantangan Implementasi (Indeks KIP)

Meskipun landasan hukumnya kuat, implementasi UU KIP masih menunjukkan hasil yang suboptimal. Indeks Keterbukaan Informasi Publik (IKIP) Indonesia pada tahun 2021 yang berada pada kategori "Sedang" (71,37) mengindikasikan bahwa Badan Publik (lembaga yang dibiayai APBN/APBD) belum sepenuhnya menginternalisasi kewajiban mereka, terutama dalam hal:

  • Pengelolaan PPID yang terintegrasi dan responsif.

  • Kategorisasi dan pengumuman proaktif atas informasi wajib (berkala, serta-merta, dan tersedia setiap saat).

Uji Kredibilitas Institusional dalam Sengketa Ijazah

Kasus sengketa ijazah di KIP berfungsi sebagai uji coba empiris terhadap komitmen institusi negara (KPU dan UGM) terhadap mandat UU KIP di ranah politik sensitif.

1. Objek dan Kedudukan Hukum

KIP, sesuai mandatnya, hanya mengadili sengketa yang melibatkan Badan Publik. Oleh karena itu:

  • Status Individual: Presiden Joko Widodo sebagai individu tidak wajib membuktikan keaslian ijazah di hadapan KIP.

  • Objek Gugatan KIP: Entitas yang menjadi fokus tuntutan adalah Badan Publik yang menyimpan atau menerbitkan dokumen, yakni KPU (sebagai penerima salinan persyaratan) dan UGM (sebagai institusi penerbit ijazah). Tuntutan ini bertujuan agar Badan Publik tersebut membuka dokumen akademik terkait (ijazah, Kartu Rencana Studi/KRS, Kartu Hasil Studi/KHS, skripsi).

2. Kontroversi Pemusnahan Arsip dan Kearsipan

Poin krusial yang menyoroti kegagalan tata kelola institusi adalah pengakuan KPU Surakarta tentang "pemusnahan" arsip agenda ijazah dengan dalih Jadwal Retensi Arsip (JRA).

Dokumen persyaratan pencalonan pejabat publik memiliki nilai retensi yang tinggi karena menyangkut akuntabilitas dan legitimasi politik. Pengakuan pemusnahan ini, terutama di tengah sengketa, menimbulkan pertanyaan serius mengenai:

  • Kepatuhan terhadap Undang-Undang Kearsipan.

  • Kewajiban institusi dalam memelihara sistem dokumentasi yang baik dan mencegah hilangnya bukti otentik.

Majelis Komisioner KIP berhak untuk mempertanyakan rasionalitas dan prosedur pemusnahan dokumen penting tersebut.

3. Batasan Putusan KIP

Proses persidangan di KIP bertujuan untuk memeriksa legal standing, mengumpulkan bukti, dan melakukan Uji Konsekuensi (untuk menentukan apakah informasi tersebut termasuk yang dikecualikan).

Fokus utama putusan KIP adalah pada kewajiban Badan Publik untuk membuka informasi terkait (dokumen akademik, KRS, KHS, dll.) demi memenuhi hak publik untuk tahu dan sebagai bagian dari pertanggungjawaban publik. Putusan ini bukanlah putusan pidana yang menetapkan keaslian ijazah, melainkan keputusan yang menegakkan mandat UU KIP.

Kesimpulan

Sengketa ijazah ini adalah cerminan dari pertarungan antara budaya ketertutupan institusional dan hak konstitusional masyarakat atas informasi. Kinerja KIP dan putusannya akan menjadi tolok ukur penting bagi komitmen Indonesia terhadap transparansi. Kegagalan institusi dalam memelihara arsip (terindikasi dari klaim pemusnahan) dan keraguan dalam membuka dokumen publik sensitif mengancam kredibilitas institusional dan dapat menggerus kepercayaan publik, yang merupakan pilar fundamental dalam sistem demokrasi akuntabel.


Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel