Refleksi Epistemologis dan Krisis Rasionalitas dalam Pembentukan Kognisi
Refleksi Epistemologis dan Krisis
Rasionalitas dalam Pembentukan Kognisi
Penulis: Akang Marta
Dialog yang disajikan
mengemukakan kritik tajam terhadap metode pelatihan kognitif di Indonesia yang
diduga menghambat rasionalitas dan penalaran kritis, serta menghasilkan
kecenderungan untuk memercayai yang mustahil dan
penurunan signifikan pada capaian kecerdasan kolektif (diasumsikan melalui skor
IQ). Diskusi ini berlanjut pada perdebatan mengenai hubungan antara empirisme dan abstraksi sebagai
kerangka epistemologis. Opini ini berargumen bahwa penolakan terhadap
epistemologi yang diungkapkan dalam kritik awal justru merupakan akar masalah
dari kurangnya rasionalitas. Selanjutnya, dipaparkan bahwa empirisme dan
abstraksi adalah komplementer (seperti yang diusulkan oleh Gita Wirjawan),
di mana abstraksi berfungsi sebagai simplifikasi kognitif yang esensial untuk
memproses kompleksitas empiris (seperti dijelaskan oleh Ryu Hasan). Peningkatan
kognisi kolektif membutuhkan restorasi penekanan pada penalaran fundamental dan
integrasi kedua mode berpikir ini.
1.
Kritisisme Rasionalitas dan Epistemologi
Pernyataan awal menyoroti
disonansi antara aspirasi untuk berpikir kritis dan budaya pelatihan (edukasi)
yang dinilai tidak rasional. Frasa seperti Kita dilatih untuk tidak rasional dan
praktik indoktrinasi narasi tidak ada
yang tidak mungkin yang bertentangan dengan realitas empiris ( banyak, Nak, yang gak mungkin itu ) menunjukkan adanya pemutusan (decoupling)
antara pengalaman sehari-hari (lived experience)
dengan kerangka berpikir yang diajarkan. Fenomena ini diduga berkorelasi dengan
akal sehat yang tidak umum dan
potensi kemerosotan kognitif kolektif (diasumsikan dari klaim IQ
\approx 78,49).
Kritik terhadap Mas Gita yang selalu memancing saya untuk berbicara secara
epistemologis mengindikasikan resistensi terhadap kerangka
filosofis yang mengkaji hakikat, sumber, dan batasan pengetahuan.
Paradoksnya, keluhan tentang kurangnya rasionalitas dan ketidakmampuan berpikir
kritis secara inheren adalah permasalahan epistemologis
yakni, masalah mengenai bagaimana kita mengetahui kebenaran dan keabsahan suatu
klaim.
2.
Rasionalitas sebagai Pra-Syarat Berpikir Kritis
Dalam tradisi pemikiran Barat, rasionalitas (berpikir logis, konsisten, dan berdasar
bukti) adalah fondasi bagi berpikir kritis
(menganalisis dan mengevaluasi informasi secara objektif). Jika pelatihan
kognitif menekankan penerimaan pasif terhadap klaim-klaim non-empiris atau
kontradiktif (misalnya, menafikan batasan kemungkinan), maka yang terjadi
adalah pelatihan menuju kepatuhan kognitif (cognitive obedience) alih-alih penalaran independen.
Hal ini dapat dijelaskan melalui
teori Disonansi Kognitif (Festinger, 1957), di mana individu akan
mengurangi ketidaknyamanan mental akibat memegang dua keyakinan kontradiktif
(misalnya, Semua mungkin vs. Banyak yang tidak mungkin ) dengan menolak bukti eksternal atau
merasionalisasi keyakinan yang tidak rasional. Ketika praktik ini menjadi
sistemik, ia membentuk budaya yang menolak verifikasi dan validasi, yang secara
langsung melemahkan kecakapan kognitif yang diperlukan untuk abstraksi dan
empirisme tingkat tinggi.
3.
Komplementaritas Empirisme dan Abstraksi
Gita Wirjawan dan Ryu Hasan
menawarkan kerangka yang lebih produktif mengenai hubungan antara empirisme dan
abstraksi, menjauh dari dikotomi biner (
pengutuban ) yang sering terjadi
dalam wacana umum.
a.
Empirisme sebagai Basis Data Kognitif
Empirisme didefinisikan sebagai dasar
pengetahuan adalah pengalaman (Ryu Hasan). Dalam metafor musik (Gita
Wirjawan), empirisme dianalogikan dengan koridor klasik, yang
mencakup pemahaman struktur, ritme, dan notasi (partitur yang rumit).
Empirisme menyediakan data mentah, aturan, dan observasi dunia nyata yang
terstruktur. Ini adalah tahap di mana input sensorik
diorganisasi menjadi informasi yang dapat diolah, sebagaimana pentingnya
memahami birama (4/4, 6/8) dalam musik jazz.
b.
Abstraksi sebagai Penyederhanaan dan Kalkulasi
Abstraksi didefinisikan oleh Ryu Hasan sebagai simplifikasi; proses menghilangkan atau memilih atribut-atribut
yang tidak penting untuk memfasilitasi kalkulasi dan pengambilan
kesimpulan. Abstraksi mengubah realitas empiris yang kompleks menjadi model
kognitif yang dapat dikelola (misalnya, 2+2 dalam matematika atau laras pelog-slendro dalam gamelan sebagai penyederhanaan
sistem nada yang rumit).
Dengan demikian, abstraksi
bukanlah oposisi dari empirisme, melainkan fungsi kritis yang beroperasi
pada hasil empirisme.
Abstraksi = f(Empirisme)
Jika empirisme tidak kuat
(pengalaman terbatas, observasi tidak akurat, penolakan fakta), abstraksi akan
menghasilkan model simplifikasi yang cacat (faulty models),
sehingga menghasilkan penalaran yang buruk dan kesimpulan yang mustahil
yang dipercayai.
4.
Implikasi Peningkatan Kognisi
Pertanyaan tentang bagaimana
meningkatkan kognisi untuk memperkaya abstraksi dan empirisme merupakan inti
dari diskusi ini, terutama mengingat kekhawatiran tentang kompetensi pengajar
dan perbandingan internasional.
Peningkatan kognisi harus fokus
pada dua pilar:
a. Restorasi Rasionalitas Dasar dan Epistemologi: Melatih anak didik untuk selalu mengajukan pertanyaan
epistemologis: Bagaimana saya tahu itu
benar? dan Apa buktinya?
Alih-alih melarang
pertanyaan epistemologis, kurikulum harus secara eksplisit mengajarkan metode
verifikasi, falsifikasi, dan penalaran logis (Silogisme, Teori Probabilitas).
Penanaman kembali penghargaan terhadap keterbatasan (yang
kontras dengan narasi tidak ada yang
tidak mungkin ) adalah esensial untuk
pemahaman realistis dan rasional.
b. Integrasi Siklus Empirisme-Abstraksi: Kurikulum harus dirancang untuk secara sistematis menghubungkan
data empiris dengan model abstrak.
1)
Empirisme yang Kaya: Memperkenalkan pengalaman dan data kompleks (misalnya, ilmu
alam berbasis laboratorium, studi kasus mendalam) yang memerlukan analisis
terperinci.
2)
Abstraksi yang Valid: Melatih kemampuan simplifikasi, generalisasi, dan pemodelan
dari data tersebut, sehingga abstraksi yang dihasilkan adalah representasi
akurat dari realitas (validitas eksternal) dan berguna untuk kalkulasi
(validitas internal).
5.
Kegagalan
Sistemik Melatih Rasionalitas: Penolakan Epistemologi dan Defisit
Abstraksi-Empirisme sebagai Akar Kemunduran Kognitif
Kekhawatiran tentang merosotnya
akal sehat dan IQ kolektif dapat ditelusuri kembali pada kegagalan sistemik
untuk melatih rasionalitas kegagalan yang ironisnya ditandai dengan
penolakan terhadap pemikiran epistemologis. Empirisme
dan abstraksi adalah pasangan komplementer yang esensial untuk kognisi tingkat
tinggi: empirisme menyediakan bahan baku yang terverifikasi, sementara
abstraksi menyediakan alat untuk memprosesnya menjadi pengetahuan yang
fungsional. Peningkatan kognisi memerlukan perubahan fundamental dalam
metodologi pelatihan, dari kepatuhan kognitif
menjadi penalaran berbasis bukti, yang menempatkan pertanyaan
epistemologis pada pusat proses belajar.
