Ads

Dilema Digitalisasi dan Kriminalisasi Kritis: Meninjau Penerapan UU ITE dan UU Kearsipan

Dilema Digitalisasi dan Kriminalisasi Kritis: Meninjau Penerapan UU ITE dan UU Kearsipan

Penulis: Akang Marta

Sumber tulisan ini mengeksplorasi dua isu krusial dalam tata kelola informasi dan penegakan hukum di Indonesia: (1) kontroversi seputar pemusnahan arsip dokumen publik dan relevansi digitalisasi (UU Kearsipan); serta (2) penerapan pasal-pasal pidana dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) terhadap individu yang melontarkan kritik atau pertanyaan publik. Analisis ini menempatkan kritik terhadap implementasi hukum sebagai masalah sistemik yang mengancam kebebasan berpendapat dan transparansi institusional.

Kegagalan Tata Kelola Arsip dan Risiko Kehilangan Data Publik

Isu pemusnahan arsip dokumen publik, seperti yang diduga terjadi pada arsip persyaratan pencalonan, menunjukkan kegagalan institusi dalam mengadopsi standar tata kelola kearsipan modern.

1. Mandat Digitalisasi dan UU Kearsipan

Undang-Undang Kearsipan (UU No. 43 Tahun 2009) telah mengamanatkan adanya upaya digitalisasi untuk menghemat ruang (space) dan menjamin retensi data jangka panjang. Dalam konteks dokumen publik yang vital, ketiadaan backup digital atas dokumen yang dimusnahkan (dibakar) tidak hanya menyiratkan inefisiensi, tetapi dapat diinterpretasikan sebagai upaya sengaja menghilangkan data yang seharusnya menjadi milik publik.

2. Implikasi Hukum Penghilangan Data

Apabila data yang dihilangkan adalah Informasi Elektronik (IE) atau Dokumen Elektronik (DE) yang menjadi milik publik, tindakan penghilangan (mend-delete) oleh pihak yang tidak berhak dapat dikenakan sanksi pidana berdasarkan UU ITE, khususnya Pasal 32 ayat (1), yang mengancam hukuman berat bagi pihak yang secara sengaja dan tanpa hak mengubah, mengurangi, atau menghilangkan informasi elektronik. Ironisnya, pasal ini, yang seharusnya melindungi integritas data publik, justru digunakan untuk mengancam pihak yang mempertanyakan ketersediaan data tersebut.

Ekskestensifikasi Berlebihan UU ITE dan Ancaman Kriminalisasi

Penerapan pasal-pasal berat dalam UU ITE terhadap pihak-pihak yang mempertanyakan keabsahan ijazah (misalnya, trio RRT) dinilai sebagai penafsiran hukum yang keliru dan ngawur (misuse of power).

1. Ketidaktepatan Pasal 32 dan Pasal 35 UU ITE

  • Pasal 32 (Mengubah/Menghilangkan IE/DE): Pasal ini ditujukan untuk memproteksi IE/DE yang memiliki nilai ekonomi, sosial, atau politik dan disimpan dalam sistem elektronik, seperti sertifikat tanah elektronik atau data properti yang dapat menyebabkan kerugian langsung (merugikan properti seseorang) jika diubah atau dihapus. Menganalisis dan memproses foto digital yang sudah beredar di media sosial (misalnya, dengan mencoret atau mengubah ukuran) bukanlah subjek yang dilindungi oleh pasal ini.

  • Pasal 35 (Manipulasi/Memalsukan IE/DE): Pasal ini bertujuan untuk menghukum tindakan manipulasi IE/DE dengan tujuan seolah-olah otentik (memalsukan). Kontrasnya, dokumen yang disengketakan (ijazah) masih berupa dokumen kertas fisik yang otentisitasnya tidak diubah secara elektronik. Menganalisis (teks, grafis, foto) atau membuat representasi visual (misalnya, clown atau joker) dari foto publik adalah bagian dari kebebasan berekspresi, penelitian, dan analisis tekstual yang tidak boleh dipidanakan.

2. Penafsiran yang Bermasalah (Mal-implementation)

Masalah utama pada UU ITE terletak pada pelaksanaannya (polisi, jaksa, dan hakim), bukan pada norma undang-undang itu sendiri. UU ITE berfungsi sebagai ekstensifikasi dari KUHP untuk menata ranah elektronik, namun seringkali ditarik-tarik untuk kepentingan tertentu. Terdapat indikasi adanya "ahli-ahli langganan" yang memberikan kesaksian ahli untuk menguatkan penafsiran yang keliru, yang berujung pada kriminalisasi suara kritis.

3. Solusi Solus Populi Suprema Lex (Hukum Tertinggi adalah Keselamatan Rakyat)

Untuk mengakhiri polemik yang memicu pembelahan sosial, solusi yang dianjurkan adalah mengembalikan kepada prinsip Solus Populi Suprema Lex. Kriminalisasi kritik, ditambah dengan berlarut-larutnya pembuktian ijazah, menciptakan ketidakstabilan.

  • Langkah Rekonsiliasi: Pihak yang berwenang (Presiden) didorong untuk menunjukkan ijazah asli, bukan sebagai kewajiban hukum untuk membuktikan, tetapi sebagai tindakan etis dan politik untuk meredakan keributan, menyelamatkan kredibilitas institusi (UGM), dan mencegah bentrokan politik.

  • Koreksi Sistemik: Pelaksana hukum harus segera mengoreksi penafsiran pasal-pasal karet UU ITE (terutama 27A, 32, 35) untuk menjamin perlindungan terhadap opini dan kritik yang tidak memiliki actual malice (niat jahat) atau tidak mengandung provokasi SARA.

Kesimpulan

Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik dan Undang-Undang ITE, jika diterapkan sesuai narasi pembuatannya, adalah regulasi yang maju untuk mewujudkan good governance dan melindungi masyarakat. Namun, praktik penegakan hukum yang ada saat ini, terutama dalam kasus yang melibatkan kritikus pemerintah, telah menciptakan kesan bahwa UU ITE adalah "alat pembungkam" (pasal karet versi reformasi), yang secara sistemik menghambat kemajuan demokrasi dan efektivitas social control yang dijamin oleh konstitusi. Reformasi penegakan hukum (Polri, Kejaksaan, Kehakiman) dan audit terhadap pendapat ahli perlu dilakukan secara mendesak.


Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel