Media Lokal dan Akuntabilitas Kepemimpinan: Meninjau Peran Pers dalam Mendorong Political Will Transparansi
Media Lokal dan Akuntabilitas Kepemimpinan: Meninjau Peran Pers dalam Mendorong Political Will Transparansi
Dalam ekosistem demokrasi yang terdesentralisasi, media massa lokal berfungsi sebagai pilar penting yang menjembatani informasi antara pemerintah daerah dan masyarakat. Opini akademik ini menelaah peran pers dan media lokal sebagai katalis kritis dalam membentuk dan menguji kemauan politik (political will) kepala daerah terhadap implementasi Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) dan Indeks Keterbukaan Informasi Publik (IKIP).
Fungsi Pers: Watchdog Lokal dan Penekan Politik
Pers lokal memiliki potensi unik untuk memengaruhi transparansi karena kedekatannya dengan isu-isu yang secara langsung berdampak pada warga, seperti anggaran daerah, proyek infrastruktur, dan kinerja PPID (Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi).
1. Mekanisme Kritis pada Political Will
Penciptaan Agenda Publik: Media lokal yang proaktif dapat mengangkat isu kegagalan Badan Publik (BP) dalam membuka informasi—misalnya, menyoroti penolakan KIP atau buruknya kualitas website PPID—ke permukaan agenda politik. Liputan mendalam ini secara langsung memberikan tekanan elektoral pada kepala daerah untuk memperbaiki kinerja transparansi agar tidak merugikan citra politiknya.
Audit Kinerja Informal: Pers berfungsi sebagai auditor informal dengan memverifikasi klaim BP terkait keterbukaan. Jika BP mengklaim IKIP-nya tinggi tetapi media lokal melaporkan bahwa permintaan informasi publik ditolak atau diperlambat, hal ini mengungkap adanya gap antara retorika dan realitas implementasi.
Amplifikasi Masalah: Isu sensitif yang awalnya diangkat media lokal (misalnya, dugaan korupsi atau penyimpangan proyek) dapat diangkat oleh media nasional. Efek amplifikasi ini mengubah masalah lokal menjadi isu nasional, secara signifikan meningkatkan taruhan politik dan memaksa kepala daerah untuk mengambil tindakan nyata, seperti yang terlihat dalam kasus-kasus yang melibatkan sengketa di KIP Pusat.
2. Kritik dan Kerentanan Media Lokal
Meskipun perannya vital, media lokal dihadapkan pada kerentanan yang dapat melemahkan fungsi watchdog mereka:
Ketergantungan Ekonomi: Banyak media lokal bergantung pada pendapatan iklan pemerintah daerah (APBD), yang dapat menciptakan konflik kepentingan. Ketergantungan finansial ini berpotensi menyebabkan sensor diri (self-censorship) dan mengurangi agresivitas dalam meliput isu-isu sensitif yang melibatkan kepala daerah atau dinas-dinas tertentu.
Ancaman Hukum dan Intimidasi: Jurnalis lokal sering kali menjadi target kriminalisasi, termasuk melalui penggunaan pasal-pasal karet dalam UU ITE (pencemaran nama baik), sebagai respons atas pemberitaan kritis. Ancaman hukum ini berfungsi sebagai instrumen pembungkam yang merusak political will media itu sendiri.
Kebebasan Pers sebagai Prasyarat Transparansi
Hubungan antara media lokal dan political will bersifat resiprokal: semakin bebas dan independen pers lokal, semakin tinggi tekanan untuk menegakkan transparansi, yang pada gilirannya meningkatkan IKIP daerah.
Disparitas IKIP antar-wilayah tidak hanya ditentukan oleh anggaran PPID, tetapi juga oleh tingkat kebebasan pers yang diizinkan oleh kepala daerah. Daerah dengan IKIP rendah seringkali adalah daerah di mana media lokal rentan terhadap kooptasi atau intimidasi. Oleh karena itu, untuk memperkuat implementasi UU KIP dan meningkatkan IKIP, Pemerintah Pusat dan Komisi Informasi harus:
Melindungi Kebebasan Pers: Memberikan perlindungan hukum yang tegas kepada jurnalis yang mengungkap kelemahan Badan Publik.
Mewajibkan Mekanisme Public Hearing: Mewajibkan Badan Publik untuk secara rutin berdialog dengan pers dan civil society terkait transparansi anggaran dan kinerja.
