Dari Eksistensi Kambing ke Evolusi Kognitif Manusia
Dari Eksistensi Kambing ke Evolusi Kognitif Manusia
Penulis: Akang Marta
Dialog antara Ryu Hasan dan Gita Wirjawan membuka ruang analisis yang
sangat penting dalam memahami evolusi kognitif manusia dan bagaimana peradaban
modern dibangun di atas fondasi kesadaran diri, empirisme, dan kemampuan
abstraksi. Pertanyaan metaforis seperti Apakah kambing ini gelisah? menggiring diskusi pada perbandingan antara
spesies yang mampu menderita secara eksistensial dan spesies yang hanya
merasakan sensasi fisik. Dari sana, diskusi berkembang ke pembahasan tentang
peran api dalam evolusi kognitif, kualitas imajinasi, serta benturan antara
kebenaran berbasis otoritas dan kebenaran berbasis bukti. Analisis akademis ini
menguraikan tiga komponen utama tersebut secara sistematis, lalu
menghubungkannya dengan tantangan kognitif masyarakat modern.
1. Kesadaran Diri dan Potensi Penderitaan: Jendela Awal Evolusi Kognitif
Pertanyaan mengenai
apakah seekor kambing bisa gelisah memperkenalkan konsep fundamental dalam
filsafat dan kognisi: kesadaran diri (self-awareness). Ryu Hasan membedakan
dengan tegas dua kategori pengalaman mental: rasa sakit (pain) dan penderitaan
(suffering). Rasa sakit merupakan respons sensorik dasar, sedangkan penderitaan
lahir dari kesadaran akan keberadaan diri, memori, dan kemampuan mengantisipasi
masa depan.
Manusia, simpanse,
bonobo, lumba-lumba, dan orang utan adalah spesies yang menunjukkan tingkat
kesadaran diri tinggi, dibuktikan melalui mirror test dan studi perilaku.
Kambing, menurut analisis Ryu, hanya memiliki sekitar 0,01% populasi yang
mungkin menunjukkan potensi tersebut. Artinya, sebagian besar kehidupannya
berlangsung tanpa refleksi mendalam akan masa depan atau konsekuensi, sehingga
tidak mengalami penderitaan eksistensial.
Implikasi
filosofisnya signifikan: kesadaran diri membawa kemampuan untuk merasakan
penderitaan, namun juga membuka peluang untuk refleksi, perencanaan, abstraksi,
dan penciptaan. Kesadaran memungkinkan manusia melampaui naluri, memikirkan
tujuan hidup, serta membangun struktur sosial dan teknologi. Dengan kata lain,
kemampuan menderita adalah
harga kognitif bagi potensi kemajuan.
2. Api sebagai Titik Balik Evolusi: Dari Efisiensi Waktu ke Abstraksi
Teknologi
Dalam penjelasannya,
Ryu Hasan menggunakan api sebagai simbol empirisme awal pengetahuan tentang dunia yang berdasarkan
observasi dan pengalaman. Penemuan api bukan hanya pencapaian teknis, tetapi
lompatan evolusioner yang memberi manusia keuntungan biologis dan kognitif.
a.
Efisiensi Energi dan
Waktu
Sebelum ada api,
manusia purba menghabiskan hampir sepuluh jam per hari untuk mengunyah makanan
mentah. Api memungkinkan makanan menjadi lebih lunak dan mudah dicerna,
memangkas waktu tersebut menjadi sekitar dua hingga tiga jam. Sisa waktu tujuh
jam adalah modal revolusi kognitif.
Dengan lebih banyak
waktu luang, interaksi sosial meningkat, yang kemudian memperkaya bahasa,
simbol, dan kemampuan berpikir abstrak. Dalam konteks evolusi, waktu luang
bukan sekadar hiburan; ia adalah ruang untuk berkembang.
b.
Api sebagai Media
Bahasa dan Imajinasi
Api unggun
mempertemukan kelompok-kelompok kecil manusia dalam suasana aman dan hangat. Di
sinilah manusia purba mulai berbagi cerita, membangun imajinasi, dan
mengembangkan bahasa.
Namun, kualitas
imajinasi menjadi sangat menentukan. Ada dua jalur imajinasi:
1)
Imajinasi Rasional
(Yang Mungkin)
Berakar pada observasi empiris. Contoh: menemukan bahwa makanan yang jatuh ke
area terbakar ternyata lebih mudah dimakan. Imajinasi ini mengarah pada inovasi
nyata dan secara bertahap memperkuat pola pikir ilmiah.
2)
Imajinasi Non-Rasional
(Yang Tidak Mungkin)
Beroperasi tanpa logika empiris. Contoh: menganggap bahwa makanan matang karena
penunggu pohon yang baik hati. Imajinasi ini lebih mudah dipercaya karena
tidak menuntut bukti, tetapi ia melatih otak untuk menerima klaim yang tidak
terverifikasi.
Krisis kognitif
muncul ketika budaya lebih menekankan imajinasi non-rasional daripada imajinasi
rasional. Akibatnya, kemampuan abstraksi empiris stagnan, sementara keyakinan
pada narasi yang tidak mungkin justru berkembang.
3. Benturan antara Otoritas dan Bukti: Akar Krisis Nalar
Masalah peradaban
yang berulang sejak zaman purba adalah dominasi kebenaran berbasis otoritas.
Kepala suku, dukun, atau figur agama merasa wajib menjawab semua pertanyaan,
bahkan yang tidak mereka pahami. Ketidakmampuan untuk berkata saya tidak tahu menjadi sumber bias kognitif yang berbahaya.
a.
Kebenaran Otoritatif
vs. Kebenaran Empiris
1)
Kebenaran
Otoritatif:
Benar karena yang bicara adalah orang
yang dihormati.
2)
Kebenaran Empiris:
Benar karena dibuktikan oleh data,
logika, dan pengujian kritis.
Ketika masyarakat
lebih mengandalkan otoritas, kemampuan berpikir kritis menghilang. Dengan
demikian, kemampuan untuk mengenali masalah pun hilang. Jika tidak ada masalah
yang diakui, maka tidak ada masalah yang bisa diselesaikan.
b.
Epistemological
Humility: Kompetensi untuk Mengakui Ketidaktahuan
Kunci rasionalitas
adalah kemampuan bersikap rendah hati secara epistemologis. Mengakui
ketidaktahuan membuka ruang untuk observasi, penelitian, dan penalaran.
Sebaliknya, kondisi kognitif yang memandang ketidaktahuan sebagai aib akan
terus mendorong narasi-narasi non-empiris. Akibatnya, masyarakat gagal
membangun kapasitas analitis dan tetap terjebak dalam pola pikir prailmiah.
4. Dari Kambing ke Handphone: Abstraksi Sebagai Puncak Evolusi
Metafora kambing membuat handphone menggambarkan rentang yang sangat jauh antara
insting dan teknologi modern. Handphone adalah produk puncak dari abstraksi:
simbol matematika, logika, elektronika, jaringan, hingga rekayasa perangkat lunak.
Peradaban tidak bisa tiba-tiba mencapai tahap ini tanpa lompatan kognitif yang
panjang dan terlatih.
Untuk mencapai
kemampuan ini, ada urutan logis yang harus terjadi:
- Empirisme
dasar: observasi dunia secara kritis.
- Abstraksi
simbolik: kemampuan menggunakan matematika, bahasa, dan logika.
- Sistem
berpikir terstruktur: metodologi ilmiah dan falsifikasi.
- Kemampuan
berimajinasi secara rasional: merancang hal yang mungkin diwujudkan.
- Persistensi
dan pengujian: eksperimen dan iterasi terus-menerus.
Tanpa latihan yang
konsisten dalam kelima tahapan tersebut, suatu bangsa hanya bisa menjadi
konsumen teknologi. Ia tidak akan pernah menjadi pencipta.
5. Krisis Kognitif Modern: Latihan Bloon dan Penurunan Abstraksi
Beberapa negara
menunjukkan fenomena penurunan skor IQ dalam beberapa dekade terakhir. Ryu
Hasan menyinggung penurunan drastis IQ rata-rata di beberapa wilayah Indonesia
sebagai tanda adanya latihan bloon atau
pelatihan kognitif yang lemah. Latihan bloon bukan berarti kemalasan
intelektual semata; ia mencakup lingkungan yang tidak merangsang nalar, praktik
pendidikan yang menekankan hafalan, dan budaya yang menghargai kepatuhan lebih
dari pertanyaan kritis.
Jika latihan bloon
bisa menurunkan IQ satu generasi, maka pelatihan rasional bisa menaikkannya.
Ini adalah premis optimis yang didukung oleh sejarah negara-negara seperti
Finlandia, Korea Selatan, dan Singapura semua
berhasil dengan rekayasa pendidikan dan lingkungan kognitif.
6. Evolusi Kognitif sebagai Proyek Peradaban
Kemajuan manusia
tidak terjadi secara kebetulan, tetapi melalui desain kognitif kolektif.
Negara-negara maju menciptakan institusi yang melatih kemampuan analitis:
sains, sekolah, riset, logika publik, dan budaya diskusi terbuka. Semua ini
membentuk lingkungan yang memperkuat empirisme dan membatasi penyebaran narasi
non-empiris.
Untuk bangsa yang
ingin melompat dari
konsumen teknologi ke pencipta teknologi, langkah kunci meliputi:
- Membangun
budaya empiris sejak dini, dengan menanamkan rasa ingin tahu dan
keberanian mempertanyakan.
- Menggeser
pendidikan dari hafalan ke penalaran, dengan fokus pada logika,
matematika, eksperimen, dan abstraksi.
- Mengurangi
kekuasaan otoritas non-rasional, sehingga ruang publik dihuni oleh diskusi
berbasis bukti.
- Memperkuat
kemampuan imajinasi yang mungkin, bukan fantasi yang tidak teruji.
- Mendorong
partisipasi dalam sains dan teknologi, bukan hanya konsumsi hasilnya.
7. Melampaui Kambing, Menuju Peradaban Rasional
Opini akademis ini
menegaskan bahwa kemampuan menciptakan teknologi, memahami dunia secara ilmiah,
dan membangun masyarakat yang maju berakar dari pelatihan kognitif yang
terstruktur. Evolusi manusia tidak hanya ditandai oleh perubahan fisik, tetapi
juga oleh kemampuan untuk merasa, mengkhayal, merencanakan, dan memecahkan
masalah.
Jika manusia purba memerlukan
api untuk membuka jalan menuju bahasa dan ide, maka masyarakat modern
membutuhkan api berupa
lingkungan pendidikan kritis, budaya sains, dan institusi rasional. Tanpa itu,
kita akan tetap seperti kambing metaforis: hidup tanpa gelisah eksistensial,
tanpa kemampuan menderita, dan tanpa kemampuan mencipta.
Namun jika pelatihan
rasional ditanamkan, maka bahkan satu generasi cukup untuk melompat dari
latihan bloon menuju kompetensi abstraksi tingkat tinggi. Dan hanya dengan itu,
bangsa dapat melampaui konsumsi teknologi menuju penciptaan teknologi menyelesaikan perjalanan panjang dari api,
bahasa, hingga handphone.
