Model Struktural Krisis Kognitif: Dari Pengalaman Miskin ke Akal Sehat yang Hilang
Model
Struktural Krisis Kognitif: Dari Pengalaman Miskin ke Akal Sehat yang Hilang
Penulis: Akang Marta
Opini-opini yang telah kita kembangkan menunjukkan
adanya siklus yang memperburuk (vicious cycle) di mana faktor lingkungan,
budaya, dan pedagogi bekerja sama untuk menurunkan kualitas kognisi rasional
kolektif. Model ini mengintegrasikan klaim Anda tentang pelatihan yang tidak
rasional dengan analisis mengenai pengalaman, abstraksi, dan fenomena sosial.
1. Titik Awal: Kemiskinan Data Empiris
Akar
masalahnya adalah kemiskinan pengalaman empiris (empirical poverty), yang disebabkan oleh faktor
struktural:
a. Keterbatasan Sumber Daya Kognitif di Rumah:
Rendahnya pendidikan formal kepala rumah tangga membatasi kekayaan diskursus dan pengalaman verbal-kognitif
anak, yang merupakan data mentah untuk penalaran.
b. Keterbatasan Dokumentasi/Literasi:
Rendahnya persentase buku yang relevan dengan Asia Tenggara ( 0,27\% ) menandakan kemiskinan data historis dan
kontekstual untuk membangun abstraksi regional yang kaya.
c. Keterbatasan Profesi Guru: Gaji
dan kompetensi guru yang terbatas membatasi kualitas input pedagogis yang kaya
akan metode falsifikasi dan penalaran kritis.
2. Mekanisme Penghambatan: Pelatihan Ketidakrasionalan
Kemiskinan
empiris diperparah oleh budaya pelatihan yang secara aktif menghambat
rasionalitas:
a. Indoktrinasi Batasan yang Diabaikan: Klaim
tidak ada yang tidak mungkin dan
kepercayaan pada hal mistis (penunggu pohon) secara langsung melatih akal untuk
menolak batasan empiris (fisika, logika, probabilitas).
b. Penghindaran Epistemologi:
Adanya resistensi untuk membahas Bagaimana kita tahu? menunjukkan penolakan terhadap kerangka
verifikasi, yang merupakan prasyarat untuk berpikir kritis.
c. Latihan Kognitif yang Merosot:
Latihan yang memprioritaskan informasi yang tidak penting bagi penalaran
mendalam (misalnya, obsesi pada selebriti yang tidak terverifikasi) dibandingkan
pengetahuan fundamental (ibu kota Maluku, menteri) melatih kognisi untuk fokus
pada relevansi sosial yang dangkal daripada signifikansi faktual yang mendalam.
3. Hasil Kognitif: Abstraksi Cacat dan Kerentanan
Sosial
Dua
mekanisme di atas menghasilkan output kognitif yang lemah:
a. Abstraksi yang Cacat: Tanpa
data empiris yang kaya dan verifikasi logis yang ketat, masyarakat cenderung
membangun model abstraksi yang terlalu sederhana dan tidak fungsional. Abstraksi menjadi imajinasi non-rasional
yang tidak mampu menjelaskan atau memprediksi realitas kompleks.
b. Penurunan IQ Kolektif (Dugaan):
Merosotnya IQ ( 78,49 ) adalah konsekuensi terukur dari kegagalan ini,
karena tes IQ sangat bergantung pada kemampuan penalaran abstrak dan pemrosesan informasi baru dua hal yang terhambat oleh
sistem di atas.
4. Manifestasi Sosial: Hilangnya Akal Sehat dan Relasi
Parasosial
Kegagalan
kognitif ini bermanifestasi dalam fenomena sosial yang dijelaskan oleh Ryu
Hasan:
a. Akal Sehat yang Hilang: Akal
sehat (penalaran berbasis konsensus empiris) menjadi tidak umum karena
masyarakat tidak lagi memiliki kerangka kognitif yang sama untuk menerima
batasan realitas.
b. Relasi Parasosial (PSR) sebagai Abstraksi Sosial
yang Gagal: Keterlibatan berlebihan dalam PSR adalah hasil
dari pencarian kenyamanan kognitif dalam model sosial yang
disederhanakan dan diidealkan. Ini merupakan pelarian dari kerumitan empiris
dari hubungan sosial nyata, yang menuntut toleransi terhadap data yang
kontradiktif dan tidak pasti.
Siklus
Kritis: Kemiskinan Pengalaman \rightarrow Pelatihan Tidak Rasional \rightarrow Abstraksi Cacat \rightarrow Hilangnya Akal Sehat \rightarrow Peningkatan PSR \rightarrow Pemutusan Kognitif dari Realitas \rightarrow Penguatan Ketidakrasionalan.
Untuk
membalikkan keadaan ini, fokus utama harus mengembalikan otoritas epistemologis pada pengalaman yang terverifikasi
(empirisme) dan melatih secara sistematis kemampuan untuk membangun abstraksi logis di semua tingkatan pendidikan.
