Kegagalan Kepatuhan dan Bias Metodologis: Tinjauan Kritis Sanksi KIP dan Indeks Keterbukaan
Kegagalan Kepatuhan dan Bias Metodologis: Tinjauan Kritis Sanksi KIP dan Indeks Keterbukaan
Implementasi Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) dievaluasi melalui dua lensa utama: efektivitas penegakan hukum terhadap Badan Publik yang tidak patuh, dan akurasi pengukuran kinerja melalui Indeks Keterbukaan Informasi Publik (IKIP). Opini akademik ini mengulas sanksi hukum bagi pelanggar putusan KIP dan menyoroti kritik metodologis terhadap IKIP sebagai barometer transparansi nasional.
Sanksi Hukum: Ancaman Pidana bagi Kegagalan Kepatuhan
Putusan Komisi Informasi (KIP) yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht)—baik karena tidak diajukan keberatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) atau karena telah melewati proses banding—adalah perintah yang mengikat bagi Badan Publik. Kegagalan melaksanakannya berpotensi memicu sanksi pidana, menegaskan UU KIP sebagai instrumen penegakan hukum, bukan sekadar imbauan etis.
1. Landasan Pidana Pelanggaran KIP
Sanksi pidana bagi Badan Publik diatur dalam UU KIP, khususnya Pasal 52 dan Pasal 55:
Pasal 52 UU KIP: Menargetkan Badan Publik yang dengan sengaja tidak menyediakan, tidak memberikan, atau tidak menerbitkan Informasi Publik wajib (berkala, serta-merta, atau tersedia setiap saat, serta informasi permintaan).
Pasal 55 UU KIP: Menargetkan Badan Publik yang dengan sengaja memberikan Informasi Publik yang tidak benar (palsu atau menyesatkan).
2. Tantangan Eksekusi Sanksi
Meskipun ketentuan pidana tersedia, penuntutan pidana dalam tindak pidana Pasal 52 baru dapat dilakukan setelah putusan KIP yang sudah berkekuatan hukum tetap tidak dilaksanakan.
Kasus sengketa ijazah menjadi studi kasus relevan. Jika KIP memerintahkan KPU atau UGM untuk membuka dokumen (misalnya, dokumen akademik yang tidak dikecualikan), dan institusi tersebut menolak, status inkracht putusan akan membuka pintu bagi tuntutan pidana. Namun, dalam praktik, proses penegakan sanksi pidana terhadap Badan Publik seringkali berlarut-larut dan rumit, menimbulkan tantangan political will dari aparat penegak hukum lain (Polri dan Kejaksaan) untuk memidanakan institusi negara.
Kritik Metodologis terhadap Indeks Keterbukaan Informasi Publik (IKIP)
IKIP disusun oleh Komisi Informasi Pusat sebagai upaya untuk mengukur tingkat keterbukaan di tingkat nasional dan provinsi, berdasarkan pengukuran pada tiga lingkungan: fisik/politik, ekonomi, dan hukum. Meskipun skor IKIP menunjukkan peningkatan yang konsisten (misalnya, dari 71,37 pada 2021 menjadi 75,65 pada 2024, dalam kategori "Sedang"), metodologi dan hasil ini tidak lepas dari kritik akademis:
1. Masalah Subjektivitas Informan Ahli
Pengukuran IKIP sangat bergantung pada penilaian Informan Ahli Daerah (IAD) yang berasal dari beragam unsur (pemerintah, akademisi, jurnalis, pelaku usaha, masyarakat). Kritik menyoroti potensi subjektivitas dan bias kualitatif dalam penilaian.
Meskipun melibatkan berbagai unsur, objektivitas penilaian dapat dipengaruhi oleh relasi lokal, tekanan politik, atau pandangan personal IAD terhadap Badan Publik di daerahnya.
Peningkatan skor IKIP bisa jadi mencerminkan perbaikan di tingkat kebijakan (lingkungan hukum) tetapi tidak selalu merefleksikan perbaikan nyata dalam kualitas layanan PPID atau aksesibilitas informasi di lapangan.
2. Ketidakmampuan Mengukur Kualitas Informasi
IKIP lebih banyak mengukur ketersediaan dokumen dan kepatuhan formal (misalnya, keberadaan PPID) daripada kualitas dan relevansi informasi yang dibuka.
Sebuah Badan Publik dapat meraih skor tinggi hanya dengan memublikasikan dokumen yang minim substansi atau tidak relevan dengan isu-isu sensitif yang dibutuhkan publik (misalnya, kontrak pertambangan atau detail anggaran operasional).
IKIP mungkin gagal menggambarkan disparitas signifikan antara wilayah (seperti yang sering terjadi antara Jawa dan luar Jawa, atau wilayah Barat dan Timur) dalam hal political will kepala daerah, yang kerap menjadi faktor penentu kegagalan keterbukaan.
3. Risiko Self-Congratulatory
Kenaikan skor IKIP yang konsisten berisiko menciptakan kepuasan diri (self-congratulatory) di kalangan Badan Publik dan pemerintah, mengalihkan fokus dari kebutuhan untuk melakukan reformasi mendalam terhadap tata kelola kearsipan dan budaya birokrasi yang masih cenderung tertutup (cultural security).
Kesimpulan
Proses penegakan UU KIP menghadapi dualitas tantangan: di satu sisi, perangkat hukum (sanksi pidana) sudah tersedia untuk memaksa kepatuhan, tetapi eksekusinya sering terhambat oleh political will. Di sisi lain, alat ukur kinerja (IKIP) memberikan gambaran kemajuan, namun rentan terhadap kritik metodologis yang mungkin menyamarkan kelemahan substansial dalam implementasi di lapangan. Untuk memperkuat transparansi, fokus harus dialihkan dari sekadar peningkatan skor IKIP menuju penegakan sanksi yang tegas atas putusan KIP yang telah inkracht dan perbaikan metodologi IKIP untuk lebih menekankan pada kualitas, relevansi, dan kemanfaatan informasi bagi masyarakat.
