Dialog Ryu Hasan – Gita Wirjawan tentang Kebahagiaan, Empati, Tertib, dan Rasionalitas Kebijakan
Latihan Kognitif sebagai Fondasi Peradaban: Analisis Dialog
Ryu Hasan – Gita Wirjawan tentang Kebahagiaan, Empati, Tertib, dan Rasionalitas
Kebijakan
Penulis: Akang Marta
Dialog penutup antara Ryu Hasan dan Gita
Wirjawan merupakan rangkaian refleksi intelektual yang menyatukan isu-isu makro seperti Kebahagiaan Nasional dan Kohesi
Sosial dengan fenomena mikro seperti
empati individu, kepatuhan lalu lintas, hingga pola pikir masyarakat dalam
menghadapi persoalan publik seperti stunting. Keseluruhan diskusi dapat
dipahami melalui satu lensa besar: Latihan Kognitif dan
Perilaku sebagai penentu kualitas peradaban. Esai ini
mengelaborasi analisis tersebut dalam empat bagian: dikotomi
Kegembiraan-Kebahagiaan; Empati dan Keteraturan sebagai hasil pelatihan; kritik
atas penalaran tidak rasional dalam kebijakan publik (stunting); dan
kesimpulan akademis tentang krisis kognitif kolektif.
1.
Dikotomi
Kebahagiaan dan Kegembiraan: Dari Ekspresi Individual ke Utilitas Sosial
Salah satu kontribusi konseptual terpenting
dari Ryu Hasan adalah membedakan secara tajam antara kegembiraan
dan kebahagiaan.
Meski keduanya sering dipertukarkan dalam percakapan sehari-hari, keduanya
sesungguhnya merupakan kondisi psikologis dan sosial yang berbeda secara
radikal.
a.
Kegembiraan:
Afek Individual dan Abstraksi Sederhana
Kegembiraan adalah bentuk afeksi sesaat,
individual, dan berorientasi pada sensasi. Contohnya dapat dilihat dalam
kesenangan memakan pecel atau rawon, atau bahkan rasa emosional ketika menonton
film Marvel dan mengomel terhadap alur ceritanya. Karakteristiknya antara lain:
1)
Internal, tidak memerlukan dukungan lingkungan.
2)
Sementara, tidak berkaitan dengan stabilitas jangka
panjang.
3)
Non-sosial, tidak memerlukan kepercayaan antar individu.
4)
Kognisi rendah, karena tidak membutuhkan abstraksi kompleks
atau interaksi sosial.
Ryu Hasan menyebut kecenderungan masyarakat
untuk mengunggah foto makanan sebagai bentuk simplistic abstraction: suatu cara
menyederhanakan kebahagiaan menjadi sekadar stimulus sensorik. Kegembiraan
tidak buruk, namun ia tidak dapat dijadikan indikator kualitas hidup kolektif
karena tidak memerlukan modal sosial, institusi yang kuat, atau tatanan publik
yang rasional.
b.
Kebahagiaan:
Interaksi Sosial, Kepercayaan, dan Empirisme Kolektif
Berbeda dari kegembiraan, kebahagiaan menurut
Ryu Hasan adalah keadaan sosial
yang sangat dipengaruhi interaksi antar individu serta kualitas institusi.
Kebahagiaan berkaitan dengan:
1)
Tingkat kepercayaan sosial
(social trust).
2)
Pengalaman positif dalam layanan publik.
3)
Rasa aman dan kepastian institusional.
4)
Konsistensi antara aturan dan implementasi
hukum.
Finlandia menjadi contoh empiris: masyarakatnya
percaya 100% bahwa negara akan membantu ketika mereka sakit atau dalam masalah.
Kepercayaan inilah yang menciptakan rasa aman psikologis dan kebahagiaan
kolektif. Indonesia, menurut Ryu, berada pada posisi sebaliknya: ketika
seseorang tertinggal handphone di tempat publik, ia mengalami kecemasan
ekstrem, sesuatu yang tidak dialami masyarakat Jepang. Ini menunjukkan
rendahnya kepercayaan pada keteraturan sosial.
c.
Rasionalitas
Kebahagiaan: Keteraturan di Atas Imajinasi Positif
Ryu Hasan menolak gagasan bahwa kebahagiaan
dapat dicapai melalui positive thinking . Kebahagiaan bukan hasil imajinasi
optimistik, melainkan hasil dari lingkungan sosial yang rasional: institusi
yang bisa dipercaya, masyarakat yang tertib, dan pola interaksi yang stabil.
Karena itu, pernyataan populer yang penting bahagia tidak
dapat dilepaskan dari syarat-syarat struktural kebahagiaan itu sendiri.
Kebahagiaan membutuhkan Empirisme Sosial lingkungan yang dapat diprediksi berdasarkan
data dan pengalaman kolektif.
2.
Empati
dan Keteraturan sebagai Produk Latihan Kognitif
Bagian ini memperkuat tesis fundamental dialog:
Empati dan Tertib bukanlah sifat alamiah, tetapi hasil
pelatihan sistematis. Manusia tidak otomatis berempati dan
patuh aturan; mereka harus dilatih melalui simulasi perilaku, pengalaman
berulang, dan internalisasi abstraksi sosial.
a.
Empati
sebagai Latihan Abstraksi Sosial
Empati, secara neurokognitif, adalah kemampuan
membayangkan diri berada pada posisi orang lain. Ini bukan sekadar pengetahuan
( Saya tahu dia sedang sedih ), tetapi abstraksi kompleks ( Bagaimana perasaannya? Apa konsekuensinya
bagi dirinya? Bagaimana jika itu terjadi pada saya? ).
Ryu Hasan menunjukkan bahwa di Jepang, empati
dilatih melalui praktik sederhana: anak-anak dilatih untuk
tidak menyentuh barang orang lain sejak usia TK. Ini
menciptakan:
·
Abstraksi tentang kepemilikan.
·
Penghormatan terhadap ruang privat.
·
Penurunan kecemasan kolektif (misalnya tidak
panik ketika handphone tertinggal).
Empati, dalam kerangka ini, bukan moral
intuitif, melainkan cognitive discipline: kemampuan
menghubungkan tindakan dengan konsekuensi sosial.
b.
Keteraturan:
Perbedaan antara Tertib dan Terkendali
Ryu Hasan membedakan dua konsep penting:
1) Terkendali
·
Tatanan yang bergantung pada otoritas eksternal
(aparat, ancaman hukuman).
·
Menciptakan kewaspadaan, karena ketertiban
bersifat rapuh.
2) Tertib
·
Tatanan yang bersumber dari disiplin internal
masyarakat.
·
Menciptakan ketenangan, karena aturan dipatuhi
tanpa pengawasan.
Fenomena melanggar lampu merah menggambarkan
kegagalan latihan kognitif. Lampu merah adalah aturan paling sederhana dalam
sistem hukum. Ketika aturan dasar ini dilanggar:
·
Hilang hubungan abstraktif antara aturan
dan konsekuensi
.
·
Masyarakat masuk ke dalam environmental
unpredictability, lingkungan yang tidak dapat diprediksi.
·
Tumbuh kecemasan sosial dan hilangnya rasa
aman.
Doktrin sederhana Jepang I will follow direction
quickly adalah bentuk
pelatihan kompak yang menciptakan efisiensi dan stabilitas.
3.
Kritik
terhadap Pemecahan Masalah Tidak Rasional: Studi Kasus Stunting
Dialog Ryu–Gita ditutup dengan kritik keras
terhadap pola pikir yang menghubungkan persoalan gizi (stunting) dengan isu
moral (zina). Kasus ini adalah contoh nyata kegagalan penalaran logis dalam
kebijakan publik.
a.
Runtutan
Penalaran yang Gagal
Kerangka pikir yang dikritik adalah sebagai
berikut:
·
Zina harus dihindari. (Premis
moral)
·
Untuk menghindari zina, solusinya adalah
menikah muda. (Solusi yang ditawarkan)
·
Menikah muda → Kemiskinan → Tidak mampu memberi
gizi → Stunting. (Konsekuensi empiris)
Ryu Hasan menolak ini sebagai penalaran cacat.
Solusi rasional seharusnya adalah:
Menghindari
zina itu solusinya ya tidak berzina, bukan menikah.
Dengan kata lain, solusi yang diberikan justru
menciptakan rangkaian persoalan baru:
·
ketidakmatangan ekonomi,
·
kehamilan remaja,
·
nutrisi buruk,
·
dan akhirnya stunting.
Ini merupakan bentuk konflik antara:
·
Utilitas Spiritual (tujuan moral), dan
·
Utilitas Empiris (manfaat nyata).
Alih-alih menyelesaikan masalah moral,
kebijakan tersebut merusak Utilitas Kognitif generasi
berikutnya: anak-anak yang mengalami stunting memiliki potensi IQ lebih rendah.
b.
Batasan
Intervensi: Makanan Gratis Sekolah
Ryu Hasan menyatakan bahwa makanan bergizi
gratis tidak menyelesaikan stunting.
Alasannya:
·
Stunting ditentukan oleh gizi
sejak dalam kandungan dan tahun-tahun awal kehidupan.
·
Kualitas ekonomi keluarga, kesehatan ibu, dan
perencanaan pernikahan jauh lebih menentukan.
·
Makanan sekolah hanya mengenyangkan
, bukan memperbaiki struktur otak yang terhambat sejak awal.
Intervensi tunggal adalah simplistic
abstraction: menyederhanakan masalah kompleks ke dalam solusi
sederhana yang tidak efektif.
Solusi rasional harus multisistemik:
·
Edukasi pranikah,
·
Peningkatan kualitas gizi ibu,
·
Kesejahteraan ekonomi keluarga,
·
Pendidikan perencanaan keluarga.
4.
Krisis
Kognitif dan Jalan Keluar
Seluruh dialog mengarah pada satu kesimpulan
akademis utama: Indonesia sedang menghadapi
krisis kognitif kolektif, yaitu ketidakmampuan untuk:
·
menghubungkan premis dan konsekuensi,
·
melakukan abstraksi sosial,
·
memahami korelasi empiris,
·
dan mempraktikkan disiplin perilaku.
Krisis ini menghasilkan tiga konsekuensi besar.
a.
Ketidakbahagiaan
Sosial
Ketidakbahagiaan bukan muncul karena kurangnya
kegembiraan, tetapi karena rendahnya Empirisme Sosial kepercayaan bahwa institusi dan masyarakat
akan berfungsi bila diperlukan. Keadaan ini menimbulkan kecemasan struktural
dan perasaan tidak aman dalam interaksi publik.
b.
Ketidakdisiplinan
Perilaku
Kegagalan mematuhi aturan sederhana (lampu
merah, antre, kebersihan) menunjukkan tidak adanya latihan kepatuhan. Tertib
hanya bisa muncul dari internalisasi aturan, bukan dari ancaman.
c.
Kegagalan
Kebijakan
Penalaran moral digunakan untuk menyelesaikan
masalah empiris, sementara data empiris diabaikan. Hasilnya:
·
solusi tidak efektif,
·
masalah baru tercipta,
·
dan kualitas generasi menurun.
5.
Solusi
Peradaban: Latihan Kognitif sebagai Proyek Nasional
Solusi tidak terletak pada spiritualitas,
motivasi, atau moralitas semata, tetapi pada Latihan Kognitif Nasional
yang terstruktur:
·
Pelatihan rasionalitas sejak usia dini,
·
Pembiasaan empati melalui simulasi perilaku,
·
Pembentukan masyarakat tertib melalui
internalisasi aturan,
·
Pengambilan kebijakan yang berbasis data, bukan
doktrin moral.
Rasionalitas dan empirisme harus menjadi
pondasi peradaban bukan untuk
menggantikan iman, tetapi untuk memastikan bahwa iman tidak menghalangi
kemampuan berpikir kritis masyarakat. Dengan meningkatkan kapasitas kognitif
kolektif, sebuah bangsa bukan hanya menjadi lebih bahagia, tetapi juga lebih
stabil, lebih sehat, dan lebih mampu menghadapi kompleksitas masa depan.
