Ads

Pengalaman, Kognisi, dan Krisis Rasionalitas

Pengalaman, Kognisi, dan Krisis Rasionalitas

Penulis: Akang Marta



Dialog antara Ryu Hasan dan Gita Wirjawan menyoroti perdebatan mendasar dalam epistemologi dan psikologi kognitif: peran pengalaman (empirisme) versus imajinasi/intuisi dalam pembentukan pengetahuan dan rasionalitas kolektif. Opini ini akan menganalisis klaim-klaim tersebut dan menawarkan kerangka konseptual mengenai krisis kognisi yang disebabkan oleh pelatihan yang   tidak rasional   dan kekurangan kekayaan pengalaman.

1.      Pengalaman sebagai Landasan Epistemologis yang Non-Nego

Ryu Hasan secara tegas memosisikan pengalaman sebagai satu-satunya landasan pengetahuan yang valid, menolak intuisi dan imajinasi sebagai landasan epistemologis.

a.      Batasan Imajinasi dan Rasionalitas

Klaim bahwa imajinasi tidak bisa dipakai sebagai landasan untuk pengetahuan adalah resonansi dari tradisi empirisme klasik (seperti John Locke atau David Hume). Imajinasi memang penting untuk inovasi dan kreativitas (divergent thinking), tetapi ia harus beroperasi dalam kerangka batasan empiris yang rasional.

1)      Imajinasi Rasional: Mengimajinasikan hal-hal yang mungkin terjadi (misalnya, membuat model bisnis baru berdasarkan tren pasar) adalah proses kognitif yang produktif, yang didasarkan pada ekstrapolasi dari data empiris.

2)      Imajinasi Non-Rasional: Mengimajinasikan hal-hal yang tidak mungkin terjadi (misalnya, meyakini benda dapat bergerak tanpa gaya dorong) adalah pemutusan kognitif (cognitive decoupling) dari realitas.

Ryu Hasan berargumen bahwa budaya telah melatih masyarakat, bahkan sejak zaman purba, untuk mengimajinasikan hal-hal yang tidak mungkin. Meskipun ini mungkin memiliki fungsi adaptif awal (misalnya, menenangkan ketakutan terhadap fenomena alam yang tidak dipahami), ketika praktik ini menjadi sistemik dalam pendidikan, ia menghasilkan ketidakrasionalan yang terlatih sebuah kondisi di mana akal sehat menjadi sangat tidak umum. Hal ini konsisten dengan argumen sebelumnya bahwa kita dilatih untuk menerima premis   tidak ada yang tidak mungkin,   yang secara langsung melemahkan kemampuan untuk membedakan antara yang faktual dan yang fantastis (prinsip falsifikasi).

2.      Krisis Kekayaan Pengalaman Empiris

Gita Wirjawan mengangkat isu struktural yang sangat krusial: keterbatasan kekayaan pengalaman empiris di Indonesia. Pengalaman yang miskin akan menghasilkan basis data kognitif yang miskin pula, sehingga membatasi kemampuan abstraksi yang kaya.

a.      Dimensi Keterbatasan Pengalaman

Keterbatasan ini diuraikan dalam dua dimensi:

1)      Keterbatasan Lingkungan Rumah Tangga (Input Diskursus): Data pendidikan orang tua (88% kepala rumah tangga tanpa gelar S1) mengindikasikan keterbatasan dalam konteks kekayaan diskusi, percakapan, atau diskursus mendalam yang dapat memperkaya pengalaman verbal-kognitif anak. Lingkungan rumah tangga adalah laboratorium pertama untuk penalaran; jika inputnya terbatas, output kognitifnya pun terbatas.

2)      Keterbatasan Lingkungan Sekolah (Input Profesional): Guru dengan gaji rendah ( 2,8  juta/bulan) mungkin memiliki kekayaan pengalaman hidup yang terbatas untuk dibagikan, atau lebih mungkin, kekurangan motivasi dan akses terhadap pelatihan kognitif tingkat tinggi.

b.      Dampak pada Abstraksi

Jika pengalaman empiris (Tahap A dan B dari siklus kognitif) yang diperoleh anak-anak tidak memadai atau tidak terdokumentasi dengan baik, upaya mereka untuk melakukan abstraksi (Tahap C) akan menghasilkan model yang:

1)      Dangkal: Tidak mampu menjelaskan kompleksitas nyata.

2)      Tidak Akurat: Berbasis pada data parsial atau salah.

3)      Tidak Fungsional: Tidak dapat diterapkan secara efektif untuk memecahkan masalah.

Keterbatasan literatur (hanya  0,27\%  dari buku dunia tentang Asia Tenggara) juga merupakan kemiskinan data empiris yang terdokumentasi, yang semakin menyulitkan cendekiawan dan masyarakat untuk membangun abstraksi regional yang kuat.

3.      Ontologi, Epistemologi, dan Nilai Kognisi

Ryu Hasan secara humoris menyatakan bahwa ia dipancing untuk berbicara secara epistemologis (Bagaimana kita tahu?), padahal ia lebih suka berbicara secara ontologis (Apa hakikat keberadaan?).

a.      Prioritas Logis dalam Berpikir Kritis

Dalam hierarki filsafat, ontologi dan epistemologi saling terkait. Namun, untuk berpikir kritis:

1)      Epistemologi harus didahulukan: Kita harus menentukan bagaimana kita mengetahui realitas sebelum kita dapat membuat klaim yang valid tentang apa realitas itu (ontologi).

2)      Penolakan Epistemologi: Penolakan untuk berbicara secara epistemologis justru merupakan gejala dari krisis rasionalitas, karena ia menolak kerangka untuk mengevaluasi klaim pengetahuan.

b.      Nilai Fungsional Abstraksi dan Empirisme

Ryu Hasan kemudian mengajukan pertanyaan ontologis: apakah abstraksi dan empirisme itu penting bagi kehidupan?

1)      Ia berargumen bahwa kecoak atau kambing hidup tanpa konsep-konsep ini, menunjukkan bahwa keduanya tidak esensial untuk kelangsungan hidup biologis (ontologi).

2)      Namun, ia segera mengakui bahwa keduanya esensial untuk kemajuan sains, pengetahuan, dan teknologi.

Ini adalah pemisahan yang krusial: Survival - Kemajuan 

Abstraksi dan empirisme mungkin tidak penting untuk existensi sederhana (survival), tetapi keduanya adalah prasyarat untuk kemajuan peradaban (progress), yang merupakan hasil dari kemampuan manusia untuk:

1)      Memahami dunia (Empirisme dan abstraksi).

2)      Merekayasa lingkungan (Teknologi).

 

4.      Perubahan Orientasi Kognitif: Gen Z dan Latihan yang Berbeda

Fenomena perubahan fokus kognitif pada generasi Z (Gen Z) dari menghafal nama ibu kota ke mengikuti selebritas K-Pop (parasocial relationship disorder) menggarisbawahi dampak dari latihan kognitif yang berbeda.

a.       Rasionalitas Relatif: Bagi Gen Z, informasi tentang Jung Kook dan Jimin menjadi penting karena ia relevan dengan lingkungan sosial yang melatih mereka (mereka dihargai atau dipermalukan berdasarkan informasi ini). Informasi tentang ibu kota Maluku dianggap tidak penting karena tidak pernah ditanyakan atau dievaluasi oleh sistem sosial mereka.

b.      Hasil Latihan: Ini adalah contoh empiris nyata dari klaim Ryu Hasan:   perilaku kita, cara memutuskan kita, itu adalah hasil latihan.   Jika sistem (orang tua, sekolah, media) melatih kognisi untuk fokus pada informasi dangkal, kognisi akan beradaptasi dan merosot dalam kemampuan penalaran mendalam.

5.      Desain Ulang Epistemologi: Memulihkan Kognisi dari Kemiskinan Empiris

Krisis kognitif kolektif berakar pada kegagalan sistemik menyediakan dan memproses pengalaman empiris yang kaya. Kekurangan input ini  disebabkan oleh minimnya diskusi di rumah dan keterbatasan literatur terdokumentasi  menghasilkan basis data kognitif yang miskin.

Masalah ini diperburuk oleh pelatihan budaya yang menolak rasionalitas, seperti indoktrinasi   tidak ada yang tidak mungkin,   yang secara aktif menghambat kemampuan akal untuk menerima batasan logis dan empiris (falsifikasi). Kombinasi ini menghasilkan abstraksi yang cacat  model mental yang terlalu disederhanakan dan tidak fungsional  serta penurunan kualitas penalaran.

Untuk membalikkan kemerosotan kognitif (dan dugaan penurunan IQ), diperlukan restorasi epistemologis radikal. Strategi kuncinya adalah menempatkan pengalaman yang diverifikasi sebagai dasar pengetahuan dan melatih akal secara sistematis untuk membangun abstraksi yang logis dan fungsional dari data empiris tersebut. Reformasi ini harus fokus pada pedagogi berbasis bukti dan pengembangan kemampuan berpikir kritis di semua tingkatan.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel