Ads

Empat Pilar Kearifan Sunda Kuno

Empat Pilar Kearifan Sunda Kuno: Fondasi Peradaban Spiritual dan Sosial Nusantara

Ditulis oleh: Akang Marta



Tulisan mengenai empat kitab utama Sunda Kuno—Sang Hyang Hayu, Siksa Guru, Sasana Maha Guru, dan Siksa Kandang Karesian—membuka ruang refleksi yang luas mengenai bagaimana warisan intelektual Nusantara tidak hanya sekadar menjadi catatan masa lalu, tetapi juga fondasi peradaban yang membentuk cara pandang spiritual, sosial, dan budaya bangsa kita. Ketika keempat kitab ini dibicarakan dalam konteks sejarah, filologi, dan keagamaan, sesungguhnya kita sedang menelusuri jejak peradaban yang sangat tua, yang mampu menata kehidupan masyarakat dengan sistematis. Dari sini, publik dapat memahami bahwa Sunda Kuno bukan hanya sekadar bagian dari sejarah lokal, melainkan bagian integral dari khazanah besar Nusantara yang layak ditempatkan sejajar dengan tradisi intelektual dunia.

Sang Hyang Hayu menempati posisi yang sangat istimewa. Kitab ini bukan hanya yang paling tua, tetapi juga yang paling sistematis, bahkan disebut sebagai salah satu naskah terbesar yang ditulis dalam bahasa Jawa Kuno. Keistimewaannya semakin nyata karena meskipun berbahasa Jawa Kuno, teksnya justru banyak ditemukan di wilayah Sunda, bukan di Jawa atau Bali. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar bagi publik: apakah pada masa itu orang Sunda lebih serius dalam melestarikan teks keagamaan Jawa Kuno dibandingkan masyarakat Jawa sendiri? Pertanyaan ini mengarah pada refleksi bahwa mungkin sejak awal masyarakat Sunda sudah memiliki kesadaran intelektual yang tinggi terhadap pentingnya dokumentasi spiritual. Tidak berlebihan jika Sang Hyang Hayu disebut sebagai kitab babon, atau Watang Ageung, karena ia berisi uraian lengkap mulai dari kosmologi hingga spekulasi metafisik. Publik dapat melihat bahwa masyarakat Sunda Kuno tidak hanya sibuk dengan urusan praktis kehidupan, tetapi juga mendalami hal-hal filosofis seperti penyatuan jiwa dengan Tuhan, sesuatu yang sebanding dengan makrifat dalam tradisi Islam.

Kitab kedua, Siksa Guru, memberikan nuansa berbeda. Jika Sang Hyang Hayu dianggap sebagai kitab tasawufnya Sunda Kuno, maka Siksa Guru bisa disebut sebagai fikihnya. Di dalamnya terdapat aturan-aturan ritual, tata cara peribadatan, etika terhadap guru, dan hubungan dengan lingkungan keagamaan. Dari perspektif opini publik, hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Sunda Kuno memiliki kesadaran akan pentingnya disiplin spiritual yang menyatu dengan praktik sehari-hari. Tidak hanya berhenti pada pemikiran abstrak tentang ketuhanan, tetapi juga mengatur perilaku manusia dalam berhubungan dengan sesama dan lingkungannya. Siksa Guru menjadi bukti bahwa agama pada masa itu hadir tidak hanya dalam ruang spekulasi filosofis, tetapi juga sebagai pedoman etika yang konkret.

Kemudian hadir Sasana Maha Guru, kitab yang memperlihatkan proses vernakularisasi, yaitu usaha sadar untuk membawa ajaran yang semula berbahasa Jawa Kuno ke dalam bahasa Sunda Kuno. Proses ini tidak hanya sekadar penerjemahan, melainkan sebuah langkah monumental dalam sejarah intelektual Nusantara. Publik dapat melihat bahwa orang Sunda Kuno pada abad ke-15 mulai menyadari pentingnya memiliki teks keagamaan dalam bahasa sendiri, sehingga pemahaman spiritual tidak lagi terikat pada bahasa asing, melainkan dekat dengan keseharian masyarakat. Sasana Maha Guru memperlihatkan sikap progresif, karena dua kitab Jawa Kuno yang berbeda berhasil disarikan menjadi satu kitab yang lengkap. Dalam konteks ini, opini publik dapat menilai bahwa orang Sunda Kuno sudah memiliki visi inklusif untuk menyatukan berbagai ajaran dan menyampaikannya dengan cara yang lebih mudah dipahami.

Namun, yang paling istimewa dan mendapat pengakuan dunia adalah Siksa Kandang Karesian. Tidak heran jika naskah ini diakui UNESCO sebagai Memory of the World, karena di dalamnya tidak hanya terdapat ajaran spiritual, tetapi juga aturan-aturan sosial yang bersifat praktis. Melalui kitab ini, publik dapat menelusuri bagaimana orang Sunda Kuno mengatur kehidupan sosial mereka, bagaimana nilai-nilai moral, politik, dan spiritual menyatu dalam satu teks yang dirancang untuk kehidupan sehari-hari. Siksa Kandang Karesian mengungkapkan wajah masyarakat Sunda Kuno yang religius, tetapi sekaligus realistis. Kitab ini bisa disebut sebagai dokumen sosial yang mencerminkan keseimbangan antara kehidupan spiritual dan kebutuhan praktis masyarakat.

Jika keempat kitab ini dipandang secara keseluruhan, opini publik akan sampai pada kesimpulan bahwa Sunda Kuno memiliki sistem keagamaan yang kompleks dan sistematis. Ada kanon yang berfungsi sebagai kitab suci, ada kitab fikih yang mengatur perilaku, ada upaya vernakularisasi yang memperlihatkan kesadaran bahasa, dan ada dokumen sosial yang menata kehidupan praktis. Semua ini menandakan bahwa agama pada masa Sunda Kuno bukan sekadar sistem kepercayaan, melainkan sebuah ekosistem yang menyatukan filsafat, ritual, moral, dan kehidupan sosial.

Lebih jauh, keempat kitab ini juga mengingatkan publik bahwa Nusantara tidak pernah miskin tradisi intelektual. Bahkan sebelum modernitas Barat masuk, masyarakat kita sudah memiliki warisan literatur yang kompleks. Ketika Barat baru mulai menyusun sistem hukum dan filsafatnya, Sunda Kuno sudah memiliki teks setebal Sang Hyang Hayu yang membicarakan tentang kosmologi dan moksa. Saat ini, opini publik seharusnya terdorong untuk merenungkan mengapa warisan sebesar itu jarang dijadikan bahan kajian utama di sekolah-sekolah kita. Kita terlalu sibuk mempelajari filsafat Barat, tetapi sering melupakan filsafat Nusantara yang tidak kalah kaya.

Keberadaan empat kitab utama ini juga memberikan refleksi penting tentang identitas. Identitas Sunda, bahkan identitas Indonesia, bisa diperkuat dengan menggali naskah-naskah kuno semacam ini. Ketika generasi muda hanya mengenal agama dan budaya dalam bentuk yang normatif saat ini, kita seakan kehilangan kesadaran bahwa nenek moyang kita sudah memikirkan konsep-konsep besar seperti ketuhanan, moralitas, etika, dan kosmologi sejak berabad-abad lalu. Opini publik yang berkembang dari sini adalah perlunya kebijakan nasional untuk memasukkan kajian naskah Sunda Kuno sebagai bagian dari kurikulum pendidikan.

Selain itu, keempat kitab ini juga membuka ruang bagi publik untuk memahami bahwa integrasi agama dan budaya di Nusantara selalu bersifat kreatif. Tidak ada yang sekadar menyalin, melainkan selalu ada proses adaptasi dan reinterpretasi. Kitab Jawa Kuno diterjemahkan ke dalam Sunda Kuno, lalu diperkaya dengan konteks lokal, bahkan diubah menjadi pedoman sosial yang relevan bagi masyarakat. Artinya, tradisi intelektual Nusantara memiliki watak dinamis, tidak statis, dan selalu terbuka terhadap pembaruan.

Melihat keseluruhan gambaran ini, tulisan ini yang dapat ditarik adalah bahwa empat kitab utama Sunda Kuno bukan hanya warisan literatur, melainkan simbol dari peradaban yang matang. Keberadaannya membuktikan bahwa masyarakat Sunda Kuno sudah memiliki sistem keagamaan yang menyeluruh, kesadaran bahasa yang progresif, serta nilai sosial yang humanis. Tugas kita sekarang adalah bagaimana mempopulerkan kembali warisan ini, tidak hanya dalam ruang akademik, tetapi juga dalam kesadaran publik yang lebih luas. Karena jika kita gagal merawatnya, maka kita sedang membiarkan bagian penting dari identitas Nusantara hilang begitu saja.

 


Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel