Ads

Ketika Rakyat Lapar, Demokrasi Diguncang

 

Ketika Rakyat Lapar, Demokrasi Diguncang

Ditulis oleh: Akang Marta

Kontributor Indramayutradisi

 


Ketika ekonomi melemah, semuanya ikut melemah. Pendapatan rakyat merosot, pekerjaan sulit dicari, harga melambung, dan kehidupan sehari-hari makin berat. Usaha kecil dan sektor informal yang biasanya menjadi penyangga justru ikut terhantam, kehilangan daya beli, kehilangan pelanggan, kehilangan harapan. Kalau pendulum kehidupan serba turun, pasti ada sisi lain yang naik. Dan benar, sisi gelap itulah yang muncul ke permukaan: kriminalitas meningkat, judi online merajalela, pinjaman online mencekik, narkoba semakin meluas, kemarahan sosial meledak, dan stres kolektif menjadi penyakit sehari-hari. Bukankah ini hukum alam yang paling sederhana: ketika perut kosong, nalar ikut kosong?

Mari kita renungkan. Seseorang yang sedang lapar tidak bisa berpikir normal. Seseorang yang marah karena tertindas tidak bisa melihat jalan keluar dengan jernih. Orang yang terhimpit utang, terjebak pinjol, terancam kehilangan pekerjaan, akan lebih mudah terbakar emosi. Dan ketika ada tangan-tangan tak terlihat memberi instruksi, mereka mudah digerakkan, entah untuk merusak, entah untuk menjarah, entah untuk menjadi pion dalam permainan besar yang mereka sendiri tak pahami. Inilah celah yang dimanfaatkan provokator, inilah bahan bakar yang dipakai aktor intelektual, inilah kerentanan yang sengaja dibiarkan oleh negara yang lalai.

Peristiwa demo besar yang belakangan terjadi tidak bisa hanya dibaca sebagai letupan spontan. Itu adalah test case, sebuah percobaan cek ombak. Apakah rakyat masih berani turun ke jalan? Apakah aparat siap menekan atau justru gagap menghadapi gelombang massa? Apakah masyarakat masih punya solidaritas, atau sudah mati rasa hingga menonton penjarahan di media sosial dengan senyum puas? Pertanyaan-pertanyaan ini tidak bisa dianggap remeh, karena dari perspektif intelijen, semuanya adalah indikator. Dan indikator itu jelas: rakyat sedang lapar, rakyat sedang marah, rakyat sedang letih sekaligus nekat.

Maka jangan salahkan bila empati publik kian menipis. Banyak orang menonton video penjarahan di sosial media bukan dengan sedih, tetapi dengan rasa puas. “Biarlah,” kata sebagian, “mereka yang selama ini duduk di kursi empuk merasakan sedikit kehilangan.” Apakah itu sikap yang sehat? Tentu tidak. Tetapi apakah itu wajar? Ya, sangat wajar. Sebab bagaimana mungkin rakyat bisa berempati pada wakil rakyat yang selama ini menari-nari, bercanda, bahkan meledek penderitaan rakyat dengan joget-joget di gedung megah, sementara rakyat sendiri berjuang mencari makan? Bukankah ini bukti bahwa jarak antara rakyat dan elit sudah terlampau jauh?

Kita harus berani bertanya: siapa sesungguhnya yang membiarkan semua ini terjadi? Apakah negara benar-benar tidak tahu bahwa judi online sedang merajalela? Apakah aparat tidak sadar pinjol ilegal telah membuat jutaan keluarga jatuh miskin? Apakah pemimpin tidak paham bahwa kemiskinan yang membesar adalah bom waktu sosial? Tentu mereka tahu. Tetapi mengetahui tanpa bertindak sama saja dengan bersekongkol. Bukankah ketidakadilan yang dibiarkan adalah kekerasan terselubung? Bukankah kelaparan yang tidak diselesaikan adalah pengkhianatan terhadap konstitusi?

Mari kita tarik kembali pada tragedi demo kemarin. Penjarahan bukanlah tujuan awal rakyat. Mereka turun karena ingin suara mereka didengar. Tetapi ketika ketidakadilan sudah menumpuk, ketika harga melambung, ketika pekerjaan hilang, ketika hidup kian sempit, apa yang bisa menahan ledakan itu? Satu percikan saja cukup untuk membuat rakyat tumpah. Dan percikan itu dengan mudah disulut, baik oleh provokator, maupun oleh aparat yang represif. Bukankah ini pola yang berulang dalam sejarah bangsa kita? Bukankah 1998 juga lahir dari perut lapar yang dipadu dengan arogansi penguasa?

Namun bedanya hari ini, teknologi menjadi saksi. Media sosial merekam semuanya, menyiarkan ke seluruh negeri, membentuk opini publik seketika. Rakyat tidak lagi hanya mendengar dari televisi yang bisa disensor. Mereka melihat langsung dari kamera ponsel: gas air mata ditembakkan ke kampus, massa dipukul mundur, provokator ditangkap lalu dilepas, hingga aset pejabat dijarah rakyat yang putus asa. Semua itu membuat opini publik kian panas. Dan inilah yang membuat “test case” itu berbahaya, karena rakyat sekarang tidak hanya marah, tetapi juga punya saluran untuk menyebarkan kemarahannya.

Apakah negara sadar bahwa satu kesalahan kecil bisa meledakkan situasi? Apakah negara tahu bahwa satu korban nyawa bisa menyulut amarah kolektif? Sejarah dunia sudah membuktikan: revolusi besar tidak pernah lahir dari teori, melainkan dari perut lapar. Orang lapar tidak bisa diajak bicara demokrasi. Orang lapar tidak bisa disuruh menunggu pembangunan. Orang lapar hanya tahu satu hal: bertahan hidup, dengan cara apa pun. Dan jika bertahan hidup berarti melawan penguasa, maka mereka akan melawan.

Lihatlah fenomena mati rasa rakyat yang kini merebak. Banyak yang berkata: “Mengapa harus kasihan pada DPR yang dijarah, sementara mereka tidak pernah kasihan pada rakyat?” Ini bukan sekadar komentar emosional. Ini adalah tanda bahwa empati publik kepada institusi negara sudah runtuh. Bagaimana tidak runtuh, jika rakyat melihat anggota dewan menaikkan tunjangan saat rakyat jatuh miskin? Bagaimana tidak runtuh, jika pejabat malah menari dan bergurau saat rakyat antre beras? Apakah itu wajah perwakilan rakyat? Ataukah itu wajah pengkhianatan terhadap mandat demokrasi?

Di titik inilah kita melihat bahaya besar. Ketika rakyat kehilangan empati kepada negara, maka mereka kehilangan ikatan sosial. Ketika rakyat tidak lagi peduli pada harta pejabat, maka mereka tidak lagi percaya pada hukum. Dan ketika hukum dianggap alat kekuasaan, maka yang lahir adalah hukum jalanan: siapa kuat dia menang. Bukankah itu yang paling kita takutkan? Bukankah itu pertanda demokrasi sekarat?

Demo kemarin hanyalah percikan, hanya test case, hanya awal dari gelombang yang lebih besar. Jika negara tidak berbenah, jika elit terus menutup telinga, maka percikan itu akan menjadi kobaran api. Kita sudah melihat tanda-tandanya: judi online yang dibiarkan, pinjol yang mencekik, harga pangan yang tidak terkendali, narkoba yang makin marak, rakyat yang makin marah. Semua itu ibarat bahan bakar yang menunggu api kecil. Dan api kecil itu bisa datang dari mana saja: dari kesalahan aparat, dari pidato pejabat yang menyinggung, dari tragedi yang tidak ditangani.

Apakah kita ingin menunggu semua itu meledak? Ataukah kita berani melakukan koreksi sebelum terlambat? Rakyat tidak butuh narasi asing. Rakyat tidak butuh tuduhan terorisme. Rakyat butuh harga pangan yang terjangkau, pekerjaan yang layak, dan kebijakan yang berpihak. Rakyat butuh pemimpin yang turun ke lapangan, mendengar, menyapa, merasakan. Bukan pemimpin yang bersembunyi di balik pagar tinggi dan kaca gelap mobil dinas.

Kita harus berani jujur: jika rakyat hari ini marah, itu bukan semata karena provokator. Itu karena negara gagal memenuhi kewajibannya. Konstitusi dengan jelas berkata bahwa negara bertanggung jawab atas fakir miskin dan anak-anak terlantar. Tetapi bagaimana kenyataannya? Fakir miskin semakin banyak, pengangguran semakin besar, dan anak-anak muda terjebak lingkaran utang. Apakah itu keberhasilan? Ataukah itu bukti kegagalan yang nyata?

Kemarahan publik tidak boleh diremehkan. Ia bisa menjadi energi positif jika ditangani dengan benar, atau bisa menjadi energi destruktif jika terus ditekan. Mahasiswa yang turun ke jalan adalah suara hati nurani, bukan ancaman. Buruh yang berteriak di depan gedung parlemen adalah alarm demokrasi, bukan musuh negara. Pedagang kecil yang mengeluh tentang sepinya pasar adalah pengingat bahwa ekonomi bukan statistik, melainkan perut yang harus diisi. Apakah negara mau mendengar? Atau akan terus menutup telinga sampai segalanya terlambat?

Mari kita tegaskan: rakyat bukan pion, rakyat bukan boneka, rakyat bukan angka statistik. Mereka manusia yang punya perut, punya hati, punya harga diri. Jika negara memperlakukan mereka seperti pion, maka mereka akan melawan. Jika negara memperlakukan mereka seperti beban, maka mereka akan mencari jalan sendiri. Dan ketika jalan itu ditempuh di luar sistem, jangan salahkan rakyat—salahkan negara yang gagal menghadirkan keadilan.

Di ujungnya, semua kembali pada pertanyaan sederhana: apakah negara masih berpihak pada rakyatnya? Apakah demokrasi masih hidup, atau hanya tinggal nama? Apakah elit masih peduli pada penderitaan rakyat, atau hanya peduli pada kursi dan tunjangan? Jawaban atas pertanyaan itu akan menentukan arah republik ini. Dan jawaban itu tidak bisa ditunda, karena rakyat sudah lapar, rakyat sudah marah, rakyat sudah lelah menunggu.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel