Narasi dan Propaganda Digital
Narasi dan Propaganda
Digital
Zaman ini bukan lagi era selebaran gelap atau pamflet bawah tanah yang
diedarkan diam-diam. Kini, hanya butuh lima menit bagi siapa pun untuk mencari
kata kunci "25 Agustus #BubarkanDPR" di TikTok, Instagram, atau
Twitter. Hasilnya segera terpampang: akun-akun anonim, narasi yang tampak
terkoordinasi, hingga pola interaksi yang tidak biasa. Semua itu memperlihatkan
betapa cepat informasi bisa bertransformasi menjadi gelombang opini. Algoritma
media sosial bukan mesin netral, melainkan arena pertarungan narasi.
Seorang akademisi dengan latar belakang doktoral di bidang data analitik
pernah menjelaskan betapa mudahnya menelusuri jejak digital. Dengan teknik
scraping dan open source intelligence, kita bisa mengetahui siapa yang memulai
isu, siapa yang memperkuatnya, dan kemana arah dukungan itu bergerak. Tidak
perlu menjadi Einstein, katanya, cukup gunakan logika sederhana. Lihat siapa
yang konsisten mendorong tagar, siapa yang diuntungkan dari kekacauan, dan siapa
yang pandai menyamarkan jejak dengan retorika moral. Semua itu bisa dibongkar
jika ada kemauan.
Namun pertanyaan besar tetap menggantung: mengapa pihak berwenang tampak
lamban bertindak? Apakah mereka benar-benar kekurangan perangkat analitik, atau
justru sengaja membiarkan kabut itu tetap menutupi pandangan rakyat?
Keterlambatan ini membuat publik bertanya-tanya tentang integritas penegakan
hukum. Apakah negara hadir untuk menenangkan situasi, atau malah menjadi bagian
dari permainan yang memperkeruh suasana? Ketidakjelasan inilah yang memicu
semakin dalamnya jurang ketidakpercayaan.
Kita hidup di zaman ketika propaganda tidak lagi datang dalam bentuk orasi
megafon di jalanan. Kini, ia hadir melalui konten singkat yang viral, meme yang
menyulut emosi, hingga video editan yang menipu logika. Publik sering kali
tidak sadar bahwa emosi mereka sedang diarahkan oleh algoritma yang berpihak
pada engagement, bukan kebenaran. Ketika marah lebih menguntungkan dibanding
tenang, maka media sosial pun menjadi mesin pengganda amarah. Inilah tantangan
besar demokrasi digital hari ini.
Oleh karena itu, bangsa ini tidak boleh tinggal diam di hadapan propaganda
digital. Kita perlu literasi media yang kuat agar rakyat tidak mudah
dipermainkan narasi yang sengaja diproduksi. Pihak berwenang harus transparan
dan cepat dalam mengungkap siapa aktor di balik peredaran isu yang merusak
stabilitas sosial. Tanpa itu, publik akan terus hidup dalam kabut yang penuh
manipulasi. Demokrasi hanya bisa bertahan bila narasi kebenaran mampu
mengalahkan propaganda digital yang menyesatkan.
Kontributor
Akang Marta Indramatradisi.