Ads

Jejak Literasi Pelestarian Bahasa-Bahasa Kuno Nusantara

Melacak Jejak Literasi Leluhur: Kekayaan dan Tantangan Pelestarian Bahasa-Bahasa Kuno Nusantara

Ditulis oleh: Akang Marta



Indonesia adalah negeri dengan warisan budaya yang luar biasa kaya, baik dari segi tradisi lisan, seni, maupun teks tertulis. Namun, dari sekian banyak bahasa yang pernah hidup di nusantara, hanya segelintir saja yang meninggalkan jejak dalam bentuk dokumen kuno. Sejarah mencatat bahwa hanya empat bahasa yang memiliki bukti nyata berupa prasasti dan manuskrip: Jawa Kuno, Bali Kuno, Melayu Kuno, dan Sunda Kuno. Keempat bahasa ini menjadi penanda betapa luasnya cakrawala intelektual leluhur bangsa kita, sekaligus menjadi cermin bahwa literasi bukanlah sesuatu yang asing dalam sejarah panjang kebudayaan Nusantara.

Bahasa Sunda Kuno, yang mulai ditulis dalam bentuk manuskrip sekitar abad ke-14, menempati posisi istimewa. Ia adalah bukti bahwa orang Sunda pada masa lalu memiliki kesadaran untuk merekam gagasan, ajaran, dan pengalaman mereka dalam bahasa sendiri, setelah sebelumnya prasasti-prasasti di Jawa Barat lebih banyak ditulis menggunakan bahasa Jawa Kuno. Kehadiran teks Sunda Kuno menegaskan bahwa budaya literasi tidak hanya berkembang di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, atau Sumatra, tetapi juga tumbuh di tanah Sunda. Sayangnya, jumlah naskah Sunda Kuno yang selamat sangat terbatas. Hal ini membuat setiap teks yang berhasil ditemukan seolah menjadi jendela kecil yang harus dijaga dengan penuh hati-hati, karena dari situlah kita bisa melihat wajah peradaban masa lalu.

Dalam pandangan publik, kehadiran bahasa-bahasa kuno ini seharusnya tidak hanya dianggap sebagai urusan akademisi atau filolog. Bahasa-bahasa tersebut adalah fondasi identitas bangsa. Lewat teks Jawa Kuno, kita bisa membaca epik Ramayana atau Mahabharata versi lokal yang penuh dengan adaptasi kearifan Nusantara. Dari prasasti Melayu Kuno, kita bisa meraba jejak Sriwijaya sebagai pusat pembelajaran agama Buddha di Asia Tenggara. Bali Kuno merekam kehidupan masyarakat Bali pra-Hindu-Majapahit yang berakar kuat pada tradisi agraris dan religius. Sunda Kuno menampilkan ajaran moral, pendidikan, serta aturan sosial yang menjadi pedoman masyarakat kala itu.

Persoalannya, pemahaman terhadap bahasa-bahasa kuno ini tidaklah mudah. Seorang peneliti harus memiliki bekal hermeneutik, yaitu kemampuan menafsirkan teks agar tetap masuk akal, baik bagi pembaca masa kini maupun penulis masa lalu. Prinsip filologi adalah membuat teks menjadi make sense, sehingga tidak boleh ada satu kata pun yang dibiarkan tanpa tafsir. Namun, untuk bisa melakukan itu, dibutuhkan tata bahasa dan kamus yang otoritatif. Di sinilah letak tantangan besar bagi penelitian Sunda Kuno. Sampai saat ini, belum ada tata bahasa baku maupun kamus lengkap yang bisa dijadikan acuan. Yang ada baru sebatas proyek-proyek rintisan berupa glosarium, catatan kata-kata unik, dan interpretasi awal.

Kondisi ini berbeda dengan Jawa Kuno yang sudah memiliki kamus besar disusun oleh Zoetmulder, bahkan dengan data kosakata yang sebagian besar berasal dari serapan Sanskerta. Zoetmulder mencatat bahwa sekitar 40 persen kosakata Jawa Kuno merupakan serapan dari Sanskerta, sebuah gambaran betapa kuatnya pengaruh India terhadap perkembangan bahasa dan sastra Jawa di masa lampau. Sementara itu, Sunda Kuno relatif lebih “murni” karena pengaruh sanskritisasi tidak sekuat di Jawa. Meski demikian, unsur serapan tetap ada, terutama dalam kosakata yang berhubungan dengan agama, filsafat, atau tata pemerintahan.

Bagi masyarakat luas, fakta bahwa hanya empat bahasa di Nusantara yang meninggalkan dokumen tertulis seharusnya menumbuhkan rasa bangga sekaligus keprihatinan. Bangga karena kita masih memiliki bukti konkret bahwa leluhur bangsa Indonesia memiliki tradisi literasi yang tinggi. Prihatin karena dari ratusan bahasa yang ada, hampir semuanya tidak meninggalkan jejak dalam bentuk tulisan. Artinya, sebagian besar warisan budaya kita hilang tanpa sempat terdokumentasi. Hal ini menunjukkan betapa rapuhnya ingatan kolektif jika hanya disandarkan pada tradisi lisan.

Kesadaran publik terhadap pentingnya bahasa kuno seharusnya juga dibangun melalui pendidikan. Sayangnya, pelajaran sejarah di sekolah seringkali hanya menyinggung naskah-naskah kuno secara sepintas, tanpa benar-benar memberikan pemahaman mendalam tentang nilai dan maknanya. Anak-anak muda lebih mengenal dongeng-dongeng global atau budaya populer asing ketimbang mengetahui bahwa di tanahnya sendiri pernah lahir teks-teks besar yang memuat pandangan hidup leluhur. Padahal, jika dipelajari dengan cara yang menarik, bahasa kuno bisa menjadi sarana refleksi yang relevan bagi generasi sekarang.

Contohnya, ajaran moral dalam naskah Sunda Kuno tidak jauh berbeda dengan prinsip etika modern: menghormati orang tua, menjaga keseimbangan hidup, menahan diri dari keserakahan, serta menjunjung tinggi pengetahuan. Nilai-nilai tersebut sangat cocok dijadikan bahan pendidikan karakter. Begitu pula dalam naskah Jawa Kuno, kita bisa menemukan pesan-pesan filosofis yang menekankan pentingnya keselarasan antara manusia, alam, dan Tuhan. Melalui bahasa kuno, kita bisa belajar bahwa masyarakat Nusantara sejak dulu sudah memiliki pandangan dunia yang mendalam, jauh sebelum istilah “filsafat” atau “etika” diperkenalkan dari Barat.

Tulisan tentang bahasa kuno juga harus diarahkan pada kesadaran bahwa penelitian ini membutuhkan dukungan serius. Filologi bukan pekerjaan yang bisa selesai dalam waktu singkat. Membaca naskah kuno membutuhkan kesabaran luar biasa, terutama karena teks seringkali rusak, huruf-hurufnya tidak lengkap, atau maknanya sulit dipahami. Jika tidak ada dukungan dari negara maupun masyarakat, penelitian akan berjalan lambat. Dukungan ini bisa berupa pendanaan riset, pelatihan bagi generasi muda untuk belajar bahasa kuno, hingga proyek digitalisasi naskah agar lebih mudah diakses oleh publik.

Digitalisasi menjadi salah satu jalan penting untuk memperluas keterlibatan masyarakat. Dengan memindahkan naskah ke dalam bentuk digital, akses tidak lagi terbatas hanya pada peneliti yang bisa datang ke perpustakaan atau arsip. Mahasiswa, guru, bahkan pelajar bisa membuka teks kuno dari layar gawai mereka. Langkah ini bukan hanya mempercepat penelitian, tetapi juga membuat naskah kuno menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat modern. Dengan begitu, filologi bisa keluar dari ruang akademik yang kaku dan hadir dalam ruang publik yang lebih luas.

Bahasa kuno Nusantara pada akhirnya memberi kita pelajaran penting tentang identitas. Ia menunjukkan bahwa bangsa Indonesia tidak pernah miskin tradisi intelektual. Leluhur kita menulis, merekam, dan menafsirkan dunia mereka dengan cara yang sama terhormatnya dengan bangsa-bangsa lain. Mengabaikan warisan ini sama dengan mengabaikan bagian penting dari jati diri kita. Sebaliknya, merawatnya berarti menegaskan bahwa kita bangsa yang menghargai sejarah dan budaya.

Di tengah derasnya arus globalisasi, kita memang tidak bisa menolak pengaruh luar. Tetapi memiliki akar yang kuat pada budaya sendiri akan membuat kita lebih kokoh menghadapi perubahan zaman. Bahasa kuno adalah akar itu. Dari teks Jawa Kuno, Bali Kuno, Melayu Kuno, dan Sunda Kuno, kita bisa menimba nilai, pengetahuan, sekaligus inspirasi. Perjalanan untuk memahami mereka memang panjang, tetapi hasilnya akan menjadi modal berharga untuk membangun bangsa yang berkarakter, beridentitas, dan berwawasan luas.

Tulisan ini harus diarahkan bahwa bahasa kuno bukanlah benda mati yang tersimpan di rak arsip. Ia adalah bagian dari kehidupan, yang bisa menghidupkan kembali kebanggaan kolektif. Setiap kata yang ditulis ratusan tahun lalu adalah suara leluhur yang masih bisa kita dengar hari ini, jika kita mau membuka telinga. Setiap naskah adalah percakapan lintas waktu yang menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan. Dengan mempelajari bahasa kuno, kita sebenarnya sedang berbicara dengan diri kita sendiri, dengan identitas yang sering terlupakan.

 


Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel