Ads

Sarapan Filsuf: Menyelam di Balik Bayang Pendidikan Indramayu

Penulis : Annisa Gozan

Setiap kota punya cerita. Di balik deru pasar, riuh sawah, dan obrolan warung kopi, ada bisik-bisik tentang marwah pendidikan yang terkikis. Bukan kabar baru, tetapi selalu mengguncang nurani saat dibicarakan: gelar akademik yang bisa dibeli, bukan diraih; jabatan yang diperoleh lewat titipan, bukan karena kecakapan.

“Siapa sebenarnya tokoh di balik praktik itu?” tanyaku pada seorang sahabat. Dia tersenyum getir, “Ada saja sosok yang dipercaya banyak orang, tetapi diam-diam menjadikan ijazah sekadar komoditas. Puluhan, mungkin ratusan, mengantre demi selembar kertas yang dianggap kunci masa depan.”

Aku terdiam. Betapa rapuh fondasi bila pendidikan berubah jadi pasar, bukan lagi ruang pencerdasan. Di antara candaku sendiri, terucap getir, “Jadi, ilmu untuk apa kalau hanya bisa dibeli?”


Sahabat itu melanjutkan, “Banyak yang tahu, sedikit yang mau bicara. Orang-orangnya teman saya juga. Kadang saya kasihan, tetapi sistem yang membuka celah membuat semuanya terasa biasa.” Kalimatnya menggantung, seolah menyerahkan simpul pikiranku kepada langit.

Bayangan film The Ghost Writer menari di benak: seorang penulis yang menemukan fakta bukan dari rumor, melainkan dari kepingan cerita orang dalam. Begitu pula aku, tak mencari sensasi, hanya merangkai potongan kisah yang bertebaran. Mereka datang begitu saja, seakan semesta menitipkan amanah: menuliskan tanpa harus menuding, mengungkap tanpa melukai.


Pertanyaan yang Mengguncang Nurani

Parahnya lagi, bila fenomena semacam ini benar terjadi—ijazah tak lagi dicari untuk menuntut ilmu, melainkan sebagai tiket duduk di meja birokrasi—maka kita patut bertanya: mengapa ranah yang mengaku suci justru rentan pada praktik yang mencederai kesucian itu? Mengapa mereka yang mengusung simbol agama berani melangkahi nilai yang diajarkan kitab-kitab? Mengapa yang terpelajar justru menjual gagasan luhur demi keuntungan sesaat?

Artinya, kesadaran belum benar-benar terbangun. Pendidikan, yang seharusnya menyalakan pelita jiwa, terkadang hanya memantulkan kilau kertas yang kosong makna. Seperti cermin yang berdebu, ia menampakkan bayangan semu tanpa ruh.


Kacamata Filsafat Moral

Socrates pernah berkata, “Kebajikan adalah pengetahuan.” Bila seseorang mengetahui apa yang benar, ia pasti akan melakukannya. Pernyataan ini tampak sederhana, tetapi fenomena “ilmu tanpa amal” menampar logika kita. Apakah benar mengetahui kebaikan otomatis membuat kita berbuat baik? Ataukah ada jarak antara kognisi dan kehendak yang tak dijembatani?

Aristoteles menambahkan: kebajikan adalah habitus, kebiasaan yang ditumbuhkan melalui latihan berulang. Artinya, gelar akademik tanpa pembiasaan moral tidak cukup. Selembar ijazah tidak otomatis menanamkan etika; butuh perjalanan batin, latihan memilih benar meski sulit.

Immanuel Kant kemudian berbicara tentang “imperatif kategoris”: bertindaklah hanya menurut asas yang engkau kehendaki menjadi hukum universal. Jika kita menjadikan jual-beli legitimasi akademik sebagai kebiasaan, maukah kita dunia menganggapnya sah? Hati kecil pasti menolak. Di sinilah benturan nurani dimulai.


Tasawuf: Menggali Hakikat Ilmu

Tasawuf mengajarkan bahwa ilmu sejati bukan sekadar akumulasi informasi, melainkan cahaya yang menuntun hati. Imam Al-Ghazali menulis dalam Ihya Ulumuddin: ilmu tanpa amal adalah kegilaan, amal tanpa ilmu adalah kesia-siaan. Ketika gelar bisa diperjualbelikan, ruh ilmu pun tercerabut: ia tak lagi mengantar kepada makrifat, hanya menjadi topeng kebanggaan.

Ibn ‘Arabi menekankan pentingnya “penyaksian batin”: belajar bukan sekadar membaca teks, melainkan menyerap makna, merasakan getar kehadiran Ilahi di setiap huruf. Apa arti hafalan bila hati tak bergerak? Apa guna stempel bila jiwa tetap gelap?

Dalam kerangka maqamat (tangga spiritual), orang yang mengejar simbol kosong terjebak di maqam nafsu ammarah: jiwa yang mengajak kepada keburukan. Untuk naik ke maqam tenang (nafsu muthmainnah), manusia mesti membersihkan niat, menjadikan ilmu jalan mendekat, bukan sekadar perhiasan dunia.


Ilmu, Adab, dan Marwah

Ketika gelar menjadi tujuan, bukan jalan, kita kehilangan marwah. Pendidikan seharusnya membentuk karakter, menajamkan akal, melembutkan hati. Rumi menulis: “Ilmu yang tidak menyalakan api cinta hanyalah beban di pundak.” Sarjana sejati bukan yang menumpuk sertifikat, melainkan yang mengubah dirinya dan lingkungannya melalui kebajikan.

Adab—dalam tradisi Islam klasik—selalu didahulukan sebelum ilmu. Seorang murid belajar tata krama, kesantunan, kejujuran, sebelum menyerap isi kitab. Bila adab hilang, ilmu menjadi pedang tanpa sarung: tajam, melukai, tak mengenal belas kasih.


Menguak Akar Masalah

Mengapa masyarakat bisa menoleransi jalan pintas? Beberapa faktor tersingkap:

1. Sistem yang rumit: jalur meritokrasi terasa panjang dan berliku, sehingga jalan singkat menggoda.

2. Budaya pragmatis: ukuran keberhasilan lebih banyak diukur materi ketimbang nilai.

3. Minimnya keteladanan: ketika tokoh publik tak menunjukkan integritas, masyarakat pun goyah.

4. Krisis spiritual: ritual berjalan, tetapi jiwa kering. Agama tinggal simbol, etika tak berakar.

Dalam filsafat eksistensial, Kierkegaard menyebut “keputusasaan” sebagai kondisi manusia yang kehilangan jati diri. Orang mencari validasi di luar, mengejar status demi menutupi kehampaan. Gelar menjadi pelarian, bukan penerang.


Jalan Pemulihan: Kesadaran

Sarapan filsuf pagi ini mengantar kita pada kesimpulan sederhana: penyembuhan bukan sekadar membenahi prosedur, tetapi membangkitkan kesadaran. Kesadaran bahwa ilmu adalah amanah; bahwa jabatan adalah pelayanan; bahwa agama bukan kostum, melainkan napas keseharian.

Dalam tasawuf, penyucian jiwa (tazkiyatun-nafs) menjadi kunci. Niat lurus, dzikir menenangkan, muraqabah menjaga hati. Ketika manusia mengingat bahwa dunia hanya persinggahan, genggaman pada simbol duniawi mengendur. Jalan pintas kehilangan daya tariknya.


Menulis sebagai Perlawanan Sunyi

Aku tidak hendak menuding siapa pun. Tugas penulis hanyalah membuka jendela kesadaran. Film The Ghost Writer mengajarkanku bahwa kebenaran kadang datang dari bisikan kecil, bukan teriakan megah. Demikian pula fenomena ini: kita menuliskannya bukan untuk menghakimi, tetapi untuk mendorong refleksi.

Menjadi “ghost writer” bagi nurani berarti merangkai kata agar orang merenung: adakah aku terlibat? adakah aku diam saat nilai dikompromikan? Renungan itu menuntun langkah: dari pasrah semu menuju sadar hakiki.


Kembali ke Hakikat

Jika pendidikan kembali kepada ruhnya—menyalakan akal dan hati—maka ijazah hanyalah jejak, bukan tujuan. Jika agama kembali ke inti—menuntun jiwa, bukan membungkus status—maka simbol tak akan diperdagangkan. Kesadaran seperti ini lahir dari perjalanan batin: shalat yang hidup, dzikir yang mengguncang ego, tilawah yang menembus hati.

Rumi menulis: “Masuklah ke dalam dirimu; di sanalah letak kerajaan.” Ketika manusia berani menyelam, mereka menemukan bahwa harga diri bukan dari kertas, melainkan dari ketulusan amal.

Sarapan filsuf hari ini bukan roti atau kopi, melainkan permenungan panjang: apakah kita mau tetap mengukur diri dari lembaran, atau melangkah menuju hakikat? Dunia mungkin memuja simbol, tetapi jiwa hanya damai bila bertemu makna. Di sanalah jalan kita, meniti, menata, memulihkan marwah pendidikan, memulihkan nurani bangsa.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel