Ads

Polisi, Intelijen, dan Politik Kekuasaan

 

Polisi, Intelijen, dan Politik Kekuasaan



Publik tentu masih ingat kerusuhan 21 Mei 2019 yang dengan cepat direspons aparat. Dalam hitungan jam, pelaku ditangkap, diproses, bahkan dihukum tanpa banyak drama. Namun lima tahun berselang, kita menyaksikan kelambanan yang mencurigakan dalam kasus terbaru. Mengapa kali ini begitu sulit menemukan aktor intelektual di balik kerusuhan? Apakah benar alat canggih Siber Polri mendadak melemah, atau ada sesuatu yang sengaja diperlambat?

Presiden telah berulang kali menegaskan bahwa ia tidak akan mundur selangkah pun melawan koruptor dan mafia. Di sisi lain, Kapolri sendiri menyebut ada aktor di balik layar, tetapi hingga kini namanya tak pernah diumumkan. Publik pun bertanya dengan resah: apa yang sebenarnya ditunggu? Apakah bukti tambahan, atau sekadar momentum politik yang lebih menguntungkan? Keraguan ini membuat kepercayaan terhadap aparat semakin rapuh.

Fenomena ini mengingatkan kita bahwa dalam politik, waktu sering kali lebih berharga daripada fakta. Informasi bisa disimpan, ditahan, bahkan dimainkan untuk kepentingan tertentu. Mungkin kebenaran bukan tidak ditemukan, melainkan sengaja dikunci rapat hingga saat yang tepat. Bila demikian, maka hukum tidak lagi berdiri di atas keadilan, melainkan di atas kalkulasi kuasa. Dan ketika hal ini terjadi, rakyat hanya menjadi penonton dalam drama politik elite.

Publik berhak curiga ketika ketidakjelasan dibiarkan berlarut-larut. Apalagi, pengalaman menunjukkan bahwa setiap kerusuhan selalu memiliki jejak digital yang bisa dilacak. Dengan teknologi yang ada, sulit dipercaya bila aparat benar-benar kesulitan mengungkap aktor intelektualnya. Pertanyaan yang muncul bukan lagi "bisakah," melainkan "maukah." Dan jawaban atas pertanyaan itu menentukan seberapa serius negara menegakkan keadilan.

Bangsa ini membutuhkan transparansi, bukan sekadar retorika. Polisi dan intelijen tidak boleh dijadikan alat kekuasaan yang hanya bekerja sesuai kepentingan politik. Jika hukum terus dipermainkan, maka luka sosial akan semakin dalam. Rakyat tidak hanya kehilangan nyawa, tetapi juga kehilangan kepercayaan pada negara. Dan tanpa kepercayaan itu, kekuasaan sebesar apa pun pada akhirnya akan runtuh.

Kontributor

Akang Marta Indramatradisi.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel