Ads

Publik, Oligarki, dan Ujian Kepemimpinan Prabowo (Bagian 3)

 

Penumpang Gelap dalam Aksi Massa



Setiap aksi massa rakyat memang memiliki potensi ditunggangi, tetapi tidak berarti rakyat selalu salah. Amarah rakyat tidak lahir karena provokasi semata, melainkan karena lapar, kecewa, dan muak terhadap kondisi yang menekan. Mereka turun ke jalan bukan untuk menjadi pion, melainkan untuk menyuarakan perasaan yang lama terpendam. Bahaya sebenarnya muncul ketika kekuasaan memilih menutup mata. Stigma seperti “ditunggangi asing” atau “provokasi lama” kerap dipakai sebagai alasan untuk membungkam suara rakyat.

Fakta di lapangan menunjukkan keterlibatan para pengemudi ojek online atau ojol dalam aksi protes. Jumlah mereka bukan kecil, sebab ada tujuh juta ojol aktif di Indonesia. Lebih dari separuhnya adalah sarjana yang gagal menemukan pekerjaan layak. Mereka adalah korban PHK dan kebijakan ekonomi yang tidak berpihak pada rakyat kecil. Mereka hadir bukan sebagai boneka asing atau pion oligarki, melainkan sebagai wajah nyata rakyat.

Kehadiran ojol dalam aksi adalah simbol nyata keruntuhan kelas menengah. Mereka yang dahulu berpendidikan tinggi kini harus berjuang di jalanan untuk bertahan hidup. Kondisi itu menandakan bahwa krisis ekonomi tidak hanya menimpa kaum miskin, tetapi juga menghantam mereka yang pernah berdiri di posisi mapan. Kehadiran mereka memperlihatkan bahwa protes rakyat bukan sekadar gerakan sporadis, tetapi jeritan kolektif dari berbagai lapisan sosial. Maka, meremehkan mereka sebagai sekadar “penumpang” adalah kesalahan fatal.

Pertanyaan penting yang patut diajukan adalah apakah suara rakyat seperti itu bisa disebut makar. Rakyat pada hakikatnya tidak memiliki senjata, apalagi institusi kekuasaan. Mereka hanya punya suara, tubuh, dan keberanian untuk menuntut keadilan. Justru yang berbahaya adalah jika kekuasaan terus mengabaikan aspirasi itu. Sebab, makar sejati hanya bisa dilakukan oleh mereka yang menguasai alat negara dan kebijakan.

Oleh karena itu, kita perlu lebih kritis melihat siapa sebenarnya “penumpang gelap” dalam setiap aksi massa. Apakah rakyat biasa yang turun ke jalan karena lapar dan kecewa layak dicurigai? Ataukah justru para elit yang duduk nyaman di kursi kekuasaan yang menjadi penunggang sejati? Ketika suara rakyat terus dicap sebagai ancaman, demokrasi perlahan kehilangan maknanya. Pada akhirnya, rakyat hanyalah cermin kejujuran dari keadaan bangsa, sementara kekuasaan sering kali menyembunyikan wajah aslinya.

Kontributor

Akang Marta Indramayutradisi

 

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel