Ads

Algoritma sebagai Senjata Politik

 

Algoritma sebagai Senjata Politik





Mari kita kembali menatap dunia digital yang kini mengatur denyut kehidupan publik. Algoritma media sosial, yang sering dianggap sekadar hiburan, sesungguhnya telah berubah menjadi senjata politik yang berbahaya. Ia mampu membesarkan suara kecil hingga terdengar seperti jeritan massa. Bisikan dapat berubah menjadi teriakan, dan amarah bisa dilipatgandakan menjadi gelombang perlawanan. Ketika kesadaran pengguna rendah, algoritma menjelma perangkap yang menyesatkan.

Namun, di tangan mereka yang terlatih, algoritma bisa dimanfaatkan menjadi mesin propaganda yang amat efektif. Ia bisa mengatur narasi, membentuk persepsi, dan menentukan siapa yang dianggap benar atau salah. Perdebatan publik tidak lagi hanya ditentukan oleh fakta, melainkan oleh siapa yang lebih lihai mengendalikan distribusi informasi. Setiap klik, like, dan share bisa menjadi bahan bakar bagi strategi politik tertentu. Dalam situasi ini, netralitas seolah lenyap dari ruang digital.

Fenomena #BubarkanDPR adalah contoh nyata bagaimana algoritma bekerja dalam panggung politik. Sebuah tagar sederhana mampu menjelma simbol yang menciptakan realitas baru. Publik dipaksa menafsirkan peristiwa melalui kaca mata yang disediakan oleh arus informasi terkoordinasi. Pertanyaan besar pun muncul: siapa yang pertama kali menyalakan api ini? Siapa yang memberi oksigen berupa dana, buzzer, dan jaringan distribusi untuk menjadikannya kobaran besar?

Negara dengan segala perangkat dan sumber daya mestinya mampu menjawab pertanyaan itu dengan cepat. Namun yang tampak justru kebingungan, kelambanan, bahkan kontradiksi sikap. Di satu sisi aparat berperan sebagai pemadam kebakaran, namun di sisi lain publik mencurigai mereka turut menjadi penyulut api. Situasi ini memperlebar jurang ketidakpercayaan antara rakyat dan institusi negara. Kejelasan yang tak kunjung hadir hanya memperkuat dugaan adanya permainan ganda.

Bangsa ini sedang berada di persimpangan berbahaya antara teknologi, politik, dan kekuasaan. Algoritma seharusnya menjadi alat untuk memperkuat demokrasi, bukan senjata untuk menghancurkannya. Bila negara terus ragu, publik akan semakin mudah dimanipulasi oleh pihak yang lihai memainkan mesin digital. Maka diperlukan keberanian untuk membongkar siapa yang sebenarnya mengendalikan narasi. Tanpa itu, demokrasi kita hanya akan menjadi sandiwara algoritmik yang penuh tipu daya.

Kontributor

Akang Marta Indramatradisi.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel