Keadilan dalam Kosmologi Sunda Kuno
Sistem Tujuh Lapis: Keadilan dalam Kosmologi Sunda Kuno
Ditulis oleh: Akang Marta
Strata judisial Sunda Kuno yang disebut dalam naskah kuno dan penelitian
modern membuka jendela penting bagi kita untuk memahami bagaimana masyarakat
Nusantara dahulu memandang hukum, keadilan, dan hubungan antarindividu. Ada
tujuh tingkatan yang membentuk hierarki sistem hukum tersebut, mulai dari adat
istiadat, kitab hukum tertulis, ajaran guru agama, ajaran para tetua,
perjanjian dua pihak, protes publik, hingga yang tertinggi: wicara,
yakni forum pengadilan dengan hakim, saksi, dan mekanisme seperti yang kita
kenal sekarang. Susunan ini tidak hanya menegaskan adanya sistem hukum formal
di Tatar Sunda, tetapi juga memperlihatkan betapa canggihnya logika yang
digunakan leluhur dalam menempatkan moral, adat, dan aspirasi masyarakat
sejajar dengan hukum tertulis.
Jika ditelaah, sistem tujuh lapis ini menunjukkan bahwa orang Sunda Kuno
tidak memahami hukum hanya sebatas teks atau aturan baku. Mereka menempatkan acara
atau adat istiadat sebagai fondasi awal, sebuah pengakuan bahwa hukum lahir
dari kebiasaan kolektif masyarakat. Adat adalah hukum yang hidup, yang dibentuk
oleh pengalaman sehari-hari. Di atasnya ada adigama, hukum tertulis yang
menyerupai KUHP dalam konteks modern. Namun menariknya, strata ini tidak berada
di posisi tertinggi. Leluhur Sunda memahami bahwa teks bisa beku, sementara
kehidupan terus berubah. Karena itu, mereka memberi ruang bagi ajaran guru
agama (guru gama), ajaran para tetua (tuha gama), bahkan
kesepakatan dua pihak yang bertikai (sat mata) untuk memiliki posisi
lebih tinggi daripada hukum tertulis.
Hal yang paling mengejutkan bagi publik mungkin adalah pengakuan
terhadap surakloka atau aspirasi publik. Dalam strata hukum Sunda Kuno,
protes keras, sorakan massa, bahkan bentuk ketidaksetujuan publik, dianggap sah
sebagai salah satu sumber legitimasi hukum. Dengan kata lain, masyarakat Sunda
Kuno telah mengenal konsep public disobedience atau perlawanan rakyat
jauh sebelum teori politik modern merumuskannya. Bagi mereka, suara publik
adalah penyeimbang kekuasaan, bukan ancaman terhadap stabilitas. Fakta ini
terasa begitu kontras dengan praktik hari ini, di mana demonstrasi sering kali
dianggap sebagai gangguan keamanan atau ancaman ketertiban umum.
Puncak dari seluruh sistem adalah wicara, forum peradilan. Kata
ini berakar pada ucapan, bicara, atau lisan. Orang Sunda meyakini bahwa
kualitas manusia ditentukan oleh ucapannya. Pepatah Jawa “ajining diri saka
lathi” punya kesamaan makna: martabat seseorang tergantung pada tutur katanya.
Dengan menempatkan wicara di strata tertinggi, leluhur Sunda Kuno
sebenarnya menekankan pentingnya kejujuran, konsistensi, dan integritas dalam
perkataan. Pengadilan bukan hanya soal teks dan bukti tertulis, melainkan juga
soal ucapan yang memiliki bobot moral.
Jika dibandingkan dengan sistem hukum modern Indonesia yang diwarisi
dari Belanda dan Prancis, terlihat perbedaan paradigma yang cukup mendasar.
Hukum positif yang berlaku sekarang menempatkan teks tertulis sebagai puncak,
seolah semua harus tunduk pada pasal-pasal. Dalam KUHP, kejahatan diukur dengan
definisi legal yang kaku. Sementara dalam strata Sunda Kuno, hukum tertulis
hanya salah satu lapisan, bukan yang tertinggi. Bahkan, kesepakatan moral dua
pihak atau aspirasi publik ditempatkan lebih tinggi daripada teks. Hal ini
memberi fleksibilitas dan kemampuan adaptasi terhadap perubahan zaman.
Contoh paling sederhana bisa dilihat dari perbedaan antara sistem hukum
Inggris (common law) dengan Prancis (civil law). Inggris menekankan moral
kolektif dalam definisi kejahatan, misalnya pencurian ditafsirkan sebagai
tindakan yang tidak jujur, bukan sekadar mengambil barang orang lain. Definisi
“tidak jujur” berkembang sesuai dengan moral masyarakat yang berubah seiring
waktu. Pola ini ternyata juga tercermin dalam strata hukum Sunda Kuno, yang
menempatkan moral kolektif dan suara publik di atas hukum tertulis. Dengan
demikian, bisa dikatakan leluhur Nusantara memiliki cara berpikir hukum yang
progresif, bahkan selaras dengan prinsip-prinsip hukum modern berbasis common
law.
Opini publik kemudian mengerucut pada pertanyaan besar: mengapa sistem
yang begitu kaya dan adaptif ini hilang dari praktik kita? Saat ini, masyarakat
lebih memilih langsung melapor ke polisi ketika ada sengketa, alih-alih
menyelesaikannya melalui jalur adat, ajaran tetua, atau kesepakatan damai.
Hilangnya strata-strata hukum tradisional membuat kita bergantung penuh pada
hukum tertulis yang kaku. Akibatnya, konflik sosial sering kali tidak menemukan
penyelesaian yang memuaskan karena kehilangan dimensi moral, adat, dan
partisipasi publik.
Dalam praktik sehari-hari sebenarnya kita masih menemukan sisa-sisa
strata tersebut. Misalnya, sebelum membawa perkara ke ranah hukum formal,
masyarakat sering mencoba menyelesaikannya lewat musyawarah keluarga, peran
tokoh agama, atau mediasi adat. Namun sayangnya, ruang-ruang tersebut semakin
terpinggirkan dan tidak mendapat pengakuan legal yang memadai. Padahal, jika
dikembangkan, sistem tujuh lapis Sunda Kuno bisa menjadi model hybrid, yang
memadukan kekuatan hukum tertulis dengan kebijaksanaan lokal.
Lebih jauh, konsep wicara sebagai strata tertinggi memberi pesan
moral yang sangat relevan untuk publik hari ini. Dalam era di mana kebohongan,
manipulasi informasi, dan inkonsistensi ucapan begitu mudah dipertontonkan di
ruang publik, ajaran Sunda Kuno mengingatkan bahwa ucapan adalah ukuran utama
martabat manusia. Sekali ucapan tidak jujur, kepercayaan lenyap, dan reputasi
runtuh. Nilai ini sebenarnya sejalan dengan keresahan publik terhadap maraknya
politisi, pejabat, atau figur publik yang dengan enteng mengubah pernyataan
demi kepentingan pragmatis.
Dalam konteks sosial, strata hukum Sunda Kuno juga mencerminkan
pandangan kosmologis bahwa hukum bukan hanya instrumen kekuasaan, melainkan
cermin hubungan harmonis antara individu, komunitas, dan alam semesta. Dengan
menempatkan adat, agama, moral, hingga protes publik dalam satu sistem
hierarkis, leluhur Sunda sebenarnya sedang menegaskan bahwa hukum lahir dari
interaksi manusia dengan lingkungannya, bukan sekadar produk legislasi.
Opini publik modern bisa memaknai warisan ini sebagai peluang untuk
membangun sistem hukum yang lebih inklusif. Alih-alih mengandalkan KUHP warisan
kolonial semata, kita bisa mengintegrasikan prinsip-prinsip dari strata Sunda
Kuno ke dalam kerangka hukum nasional. Misalnya, memberi pengakuan yang lebih
kuat terhadap peran mediasi adat, memperkuat legitimasi kesepakatan moral
antarwarga, atau menjadikan aspirasi publik sebagai salah satu parameter
penting dalam pembentukan hukum. Dengan begitu, hukum menjadi lebih hidup,
adaptif, dan selaras dengan budaya lokal.
Pada akhirnya, sistem tujuh lapis ini bukan sekadar catatan sejarah,
melainkan refleksi dari cara leluhur kita memandang keadilan. Publik dapat
belajar bahwa keadilan sejati bukan hanya soal memenangkan perkara di
pengadilan, tetapi juga soal menjaga keseimbangan sosial, menghormati adat,
mengakui suara rakyat, dan menegakkan kejujuran dalam ucapan. Jika nilai-nilai
ini bisa kita hidupkan kembali, mungkin kita bisa menghadirkan wajah hukum
Indonesia yang lebih bermoral, manusiawi, dan membumi.