Ads

Kerusuhan di Era Algoritma

 

Kerusuhan di Era Algoritma



Mari kita bertanya dengan jujur pada diri sendiri: apa arti sebuah kerusuhan di zaman algoritma? Apakah kerusuhan hanya sekadar luapan spontan dari amarah rakyat, atau justru buah dari perencanaan yang terstruktur? Di balik layar digital, amarah bisa dipicu, diperbesar, dan diarahkan sesuai kepentingan tertentu. Peristiwa 25 Agustus telah membuka kembali luka lama bangsa ini yang seolah tak pernah benar-benar sembuh. Sembilan nyawa melayang, tetapi pertanyaan tentang siapa yang menyalakan api tetap belum terjawab.

Hashtag #BubarkanDPR mendadak menjadi trending topic dan seketika menyulut aksi massa di berbagai daerah. Apakah semua itu benar-benar murni suara rakyat, ataukah ada pihak yang sengaja menggerakkannya dengan algoritma dan dana besar? Teknologi digital kini memungkinkan manipulasi opini publik dengan kecepatan yang tak terbayangkan. Kita sering kali tidak sadar bahwa emosi kita sedang diarahkan melalui narasi yang disebar di ruang maya. Fenomena ini memperlihatkan betapa rapuhnya batas antara aspirasi murni dan rekayasa sosial.

Kerusuhan 25 Agustus bukan hanya soal kerikil yang dilempar di jalanan, melainkan juga tentang informasi yang dilempar ke layar gawai kita. Seseorang, atau sekelompok orang, pasti memiliki kepentingan ketika kerusuhan berubah menjadi panggung yang terliput kamera. Nyawa-nyawa yang hilang seolah menjadi bagian dari narasi yang sengaja disusun untuk mengguncang legitimasi politik. Namun, rakyat kecil lagi-lagi yang menanggung derita paling nyata dari tragedi itu. Mereka kehilangan keluarga, rasa aman, bahkan keyakinan pada keadilan.

Dalam situasi seperti ini, kita dihadapkan pada teka-teki besar yang mengguncang nurani bangsa. Siapa sebenarnya yang bermain dalam panggung ini? Siapa yang sengaja membiarkan asap menutupi bara demi keuntungan politik atau ekonomi? Pertanyaan itu bukan sekadar spekulasi, melainkan panggilan untuk membuka mata terhadap permainan yang lebih besar. Tanpa jawaban yang jelas, kecurigaan akan terus beranak-pinak, dan luka sosial akan sulit terobati. Kita bisa saja menjadi korban berikutnya bila terus lengah.

Maka, bangsa ini harus berani menyingkap tabir dan menuntut kejelasan. Tidak cukup hanya mengutuk kekerasan tanpa membongkar akar yang sebenarnya. Kita memerlukan keadilan, transparansi, dan keberanian politik untuk mengungkap siapa dalang di balik tragedi ini. Sebab tanpa itu, kerusuhan hanya akan berulang, dengan wajah berbeda namun pola yang sama. Zaman algoritma menuntut kita untuk lebih kritis, agar tidak terjebak dalam bayang-bayang permainan kekuasaan yang menyamar sebagai suara rakyat.

Kontributor

Akang Marta Indramatradisi.

 

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel