Ads

Antara Warisan Jokowi, Beban Prabowo, dan Tuntutan Rakyat (Bagian 4)

 

Efisiensi yang Membunuh Harapan



Kata kunci kemarahan rakyat hari ini adalah efisiensi. Namun, efisiensi yang diterapkan pemerintah justru terasa sebagai penghematan buta yang tidak manusiawi. Kebijakan menaikkan PBB hingga 250% di Pati menjadi simbol nyata bagaimana rakyat dicekik tanpa ampun. Mereka yang sudah hidup dalam kesulitan semakin kehilangan ruang bernafas. Tidak heran jika gelombang protes pun terjadi, hingga akhirnya Prabowo sendiri turun tangan membatalkan keputusan tersebut.

Tetapi, apakah masalah selesai dengan pembatalan itu? Tidak. Sebab rakyat mulai sadar bahwa kejadian di Pati hanyalah satu fragmen dari pola besar kebijakan pemerintah yang kerap memilih jalan pintas. Jalan pintas itu sering kali mengorbankan kepentingan rakyat kecil demi alasan efisiensi yang semu. Rakyat pun semakin meyakini bahwa keadilan sosial semakin menjauh dari genggaman mereka.

Bukankah lebih masuk akal jika efisiensi dimulai dari atas? Potonglah tunjangan DPR, kurangi fasilitas mewah menteri, dan hentikan pengadaan mobil dinas. Namun yang terjadi justru sebaliknya: DPR malah mendapatkan tunjangan rumah Rp50 juta per bulan. Saat rakyat berjuang keras hanya untuk sekadar membeli beras, wakil rakyat mereka bersenang-senang di rumah kontrakan mewah Menteng. Pemandangan inilah yang menyalakan api kemarahan rakyat semakin membara.

Ketidakadilan itu bukan sekadar angka, melainkan luka yang dipertontonkan di ruang publik. Rakyat yang dipaksa mengencangkan ikat pinggang menyaksikan elit politiknya hidup dalam kenyamanan luar biasa. Jurang yang semakin lebar ini menjadi racun bagi rasa kebersamaan sebagai bangsa. Efisiensi yang semestinya memperkuat negara justru berubah menjadi alat penindasan terselubung. Dari sinilah lahir rasa tidak percaya terhadap pemerintah dan wakil rakyat.

Kemarahan rakyat hari ini bukanlah sekadar reaksi spontan terhadap sebuah kebijakan lokal. Ini adalah akumulasi dari kekecewaan panjang terhadap pola pengambilan keputusan yang tidak adil. Jika pemerintah sungguh-sungguh ingin menenangkan rakyat, efisiensi harus dimulai dari pusat kekuasaan, bukan dari dompet rakyat kecil. Hanya dengan langkah itu, harapan bisa kembali tumbuh. Tanpa itu, efisiensi hanya akan terus menjadi senjata yang membunuh harapan bangsa.

Kontributor

Akang Marta Indramayutradisi

 

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel