Kebenaran yang Tertunda
Kebenaran
yang Tertunda
Kita bosan dengan teori konspirasi yang tak berujung. Kita jenuh dengan
cocoklogi yang hanya melahirkan kebingungan. Publik sejatinya hanya
menginginkan satu hal: kebenaran. Namun anehnya, kebenaran justru terasa
semakin jauh dari genggaman. Padahal negara memiliki seluruh perangkat untuk
mengungkapnya.
BIN punya intelijen dengan jaringannya, Polri memiliki data lapangan, TNI
memiliki kekuatan struktur, dan teknologi menyediakan alat canggih. Tetapi
mengapa semua itu tidak dipakai secara maksimal? Mengapa pertanyaan sederhana
seperti “siapa dalang kerusuhan” berubah menjadi drama panjang penuh teka-teki?
Apakah benar negara tidak mampu, ataukah justru tidak mau? Pertanyaan itu kini
menggantung di benak publik.
Opini publik harus lantang menyuarakan ketidakpuasan ini. Jangan biarkan
darah rakyat ditukar dengan retorika politik yang hampa. Jangan biarkan nyawa
berubah menjadi sekadar angka dalam statistik. Jangan biarkan keluarga korban
menanggung duka seorang diri tanpa keadilan. Negara seharusnya hadir untuk
melindungi, bukan untuk berkelit.
Demokrasi bukanlah panggung sandiwara yang dimainkan segelintir elit.
Demokrasi adalah kontrak moral antara rakyat dan negara. Rakyat memberi mandat
dengan penuh harapan, negara wajib melindungi dengan sepenuh tanggung jawab.
Bila negara gagal melindungi, mandat itu sah untuk dipertanyakan. Karena
kekuasaan tanpa perlindungan hanya berarti pengkhianatan.
Bila aparat lebih sibuk mencari kambing hitam daripada mengungkap kebenaran,
maka demokrasi berada di ambang krisis. Rakyat berhak menggugat janji yang tak
pernah ditepati. Publik berhak menuntut jawaban yang nyata, bukan sandiwara
politik yang berulang. Kebenaran tidak boleh lagi ditunda dengan alasan
prosedural atau momentum politik. Sebab tanpa kebenaran, republik ini hanya
akan menjadi panggung kabut, tempat rakyat dipaksa hidup dalam ketidakpastian.
Kontributor
Akang Marta Indramatradisi.